Catatan Perjalanan Madura--Surabaya, 4 November 2016


Memasuki pelabuhan Kamal ada pemandangan yang agak berbeda, apa itu? Ada pengecatan dan perbaikan tembok pelabuhan namun tetap saja pemandangan tak mengenakkan perihal sampah dan perjalanan yang terganggu sebab rusaknya jalan masuk adalah gangguan yang tak bisa dipungkiri. Tak ada yang istimewa dalam penyebrangan kali ini, sama seperti biasa para penumpang sibuk dengan dunianya sendiri. Kemudia sampailah di pelabuhan Tanjung Perak, jujur saat itu saya bingung hendak naik apa. Damrikah? Trans? Atau angkutan  umum?
Mengapa saya sedemikian bingung? Sebab ini kali pertama akan menuju Surabaya di tempat salah seorang teman dan disuruh menunggu di terminal  Bratang, sungguh saya tidak tahu rutenya. Seperti biasa, saat lelah, bingung atau apalah biasa singgah sejenak di masjid pelabuhan. Setelah itu memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan mencari angkutan jurusan Bratang. Sebelumnya telah bertanya pada Bapak penjual karcis tentag rutenya tapi sepertinya beliau juga tidak tahu pastinya. Jadi ketika mencari angkutan ditanya sopir ingin kemana? Dengan percaya diri saya menjawab ingin ke Bratang, dengan senyuman si bapak menjawab bahwasannya tidak ada transportasi yang langsung bisa sampai Bratang harus oper dulu dan kebetulan angkutan bapak sopir satu rute sebekum Bratang, jadi sebelum sampai Bratang harus naik angkutan lain. Singkat cerita naiklah ke angkutan itu, sepanjang perjalanan kami berbincang-bincang , sebelumnya saya membuka pembahasan dengan bertanya apakah beliau sudah lama bekerja sebagai sopir? Dengan senyum ramah beliau menjawab bahwasannya beliau sudah 40 tahun menjadi sopir, beliau memiliki 13 anak. Kemudian saya bertanya lagi tentang keadaan pelabuhan saat ini yang sudah mulai sepi. Beliau menceritakan bahwa kondisi pelabuhan sepi sebab adanya Suramadu, dulu kapal yang ada di pelabuhan berjumlah 14 buah sedangkan kini hanya tersisa tiga buah kapal, kemanakah lainnya? Tentu saja dikembalikan pada pemerintah. Selain itu, banyak sopir yang mengeluh sebab sebagian penumpang kapal membawa motor dan hanya sedikit dari mereka yang menggunakan jasa angkutan umum.
Lalu beliau bertanya, sekolah dimana?  Saya jawab bahwa saya kuliah di Madura, tiba-tiba saja beliau berpetuah bahwa harus berhati-hati dan saya mengiyakan ucapannya. Tak lama kemudian sampailah di tempat pemberhentian angkutan yang akan menuju tujuan selanjutnya. Saya tidak tahu persis apa nama daerah ini, akan tetapi sepertiga perajalanan menuju Terminal Bratang menemui pemandangan yang aneh, perumahan kumuh, banyak barang rosok, dan kehidupan yang sekilas terlihat semrawut. Tiba-tiba saya tersadar kok daritadi tidak sampai-sampai, ya? Wah! Pikiran saya mulai liar, apakah tersesat ya? Berbagai prasangka muncul. Kemudian tanya ke penumpang yang ada di samping apakah terminal Bratang masih jauh? Dia menjawab iya dan masih jauh lagi, untunglah saya dan sedikit lega. Kira-kira sepuluh menit sampailah di sana dan menunggu teman yang akan menjemput, tak lama kemudian ia muncul lalu kami menuju tempat tujuan setelah sampai dan menyelesaikan keperluan kami berjalan-jalan sambil menikmati alam Surabaya sore hari, macet dan semrawut. Uh menyebalkan!
Tibalah waktu maghrib, kami makan dulu dan di rumah makan tersebut ada beberapa anak kecil yang masuk dan meminta uang, saya juga heran mengapa pengemis diperbolehkan masuk? Bukankah biasanya pengemis dilarang masuk ke rumah makan sebab bisa mengganggu pelanggan. Mungkin pemilik rumah makan merasa kasian jadi diperbolehkan, dan saya merasa miris melihat mereka, dengan usia yang masih sangat belia harus dipaksa mengarungi kerasnya hidup yang seperti itu, di sisi lain teman saya merasa jengkel dengan orang tua para anak tersebut, bukankah merasa masih dalam usia sekolah? Mengapa diperbolehkan bahkan kadang justru orang tuanya sendiri yang memaksa anaknya untuk mengemis. Sungguh hidup ini kadang sulit dipahami!
Setelah itu kami menuju masjid UNESA sembari menunggu teman yang masih rapat, daripada menunggu di tempat lain yang tidak jelas jadi kita memutuskan untuk menunggunya di masjid saja. Sejam kemudian tiba-tiba datanglah seorang lelaki yang kira-kira berusia 50 tahun,  beliau bertanya ”mas, Waru itu dimana, ya?”.
Sang teman menjawab “kalau warung ya jauh, pak. Bapak harus keluar dulu dari area kampus”.
“Waru, mas” tegasnya.
“iya, pak. Warung” timpalnya.
Saya ingin tertawa mendengar percakapan itu, memang sengaja tidak ikut campur dulu. Terdengar beliau beristighfar, terlihat mulai jengkel kemudian beliau berucap “Waru, mas. Bukan warung tapi Waru” terlihat nada bicaranya mulai meninggi.
Saya menyela dan berucap dengan sang teman, “Waru yang dimaksud bapak, bukan warung lho”.
Kemudian sang teman menjawab: “oalah, Waru to pak, ya, masih jauh. Mengapa, ya, pak?”
Lalu, beliau bercerita bahwasannya ia datang dari Kediri ke Surabaya dengan temannya untuk bekerja di borongan bangunan.  Akan tetapi malang tak dapat ditolak, naas ketika beliau tidur temannya tersebut pergi meninggalkannya, sudah dua hari ini beliau berjalan mencari petunjuk sana-sini untuk kembali ke Kediri, ingin bonek truk katanya.  Beliau bercerita dengan suara bergetar dan mata yang berkaca-kaca, sungguh saat itu saya teringat Ayah. Begitulah perjuangan seorang ayah. Saya bertanya apakah beliau ada nomor HP sanak saudara? Tidak, jawabnya. Sebenarnya ingin bertanya lebih banyak lagi info dari beliau, tapi tidak tega, terlihat sangat lelah dan beliau berpamitan ingin kembali  melanjutkan perjalanan. Jalannya terseok pertanda kaki tuanya sangat lelah, berucap hati-hati padanya. Di usia senjanya masih harus berjuang sedemikian rupa, tak ada komunikasi dengan keluarga saat di tanah orang dan tidak tahu seluk beluk kota Surabaya, Ya Allah … sungguh kasian,  semoga cepat mendapatkan tumpangan pulang dan segera kembali di tengah-tengah keluarganya. Tak bisa kutahan air mata ini, entah alas an apa beliau ingin merantau, namun ditahan niat untuk bertanya hal itu sebab tadi, tidak tega. Bagaimana jika beliau tidak bisa pulang? Pikiranku kemana-mana. Allah, permudah urusannya.

Komentar

Postingan Populer