Catatan Perjalanan I


Cerita ini bermula dengan mereka, orang-orang baru yang sekiranya akan menetap lama dalam ruang hati.
Sengaja baru kutulis di akhir tahun ini dan aku ingin kembali menyelami ceritanya melalui satu persatu aksara yang kususun di sini.

Catatan perjalanan untuk menyelesaikan sebuah misi.
Senja itu mengawali kisah yang tak mugkin kulupakan, canda sepanjang jalan itu adalah kekonyolan menurutku saat itu. Bagaimana tidak? Ada yang merasa dirinya seperti burung yang bebas dari sangkar, ada yang merasa sok ganteng, ada juga yang merasa sok keren dan apalah-apalah, dan aku saat itu merasa sok bijaksana. Hah! Ini kekonyolan dariku juga.
Perjalanan menuju kota pahlawan dan membawa uang pas-pasan, uang itu harus cukup untuk sampai perjalanan pulang lagi bagi kami berdelapan.

Awal perjalanan yang harus ditempuh adalah menuju pelabuhan, ya untuk ke sana kami harus naik angkutan dan mereka masih saja tetap ribut dan berisik , aku hanya menanggapinya beberapa kali sebab moodku buruk saat itu, mengapa tidak? Asap rokok adalah penyebab utamanya. Sepanjang perjalanan taka da yang menarik, hanya saja yang membuatku terheran-heran adalah sepanjang barisan kanan—kiri jalan begitu banyak tempat yang mudah digunakan sebagai TPU (Tempat Pembuangan Uang), mengapa kusebut TPU? Ya, karena warungwarung dan took itulah yang menjadikan budaya kaptalis dan konsumeris semakin merebak.
Ah! Aku atak tahu apa yang kupikirkan saat itu, tapi pada kenyataanya memang hal itu yang memenuhi kepalaku. Tak terasa tibalah kami di pelabuhan, dan suasananya sama saja seperti basanya, belum ada hal istimewa, menurutku.

Pesan yang selalu kami ingat dan pegang teguh adalah keharusan untuk menjadi seorang yang peka dan mau memperhatikan orang lain. Baik, aku akan mempraktikkannya.

Singkat cerita, tibalah kmi di Surabaya, tujuan pertama adalah di Tunjungan Plaza, saat sampai di sana kurang lebih waktu menunjukkan pukul 19.00 di sana kami harus tahu beberapa hal seputar TP.
Ya, begitulah TP dengan segala kemegahan menyihir mereka yang datang dari pelosok desa, dan menjadi ajang keangkuhan bagi mereka yang berharta. Suasana hedonis sangat terasa di sini, kebanyakan pengunjung merupakan orang tionghoa. Kami semua berpencar, tapi harus tetap ada atu teman laki-laki yang harus menjaga dan itulah si udin yang mendapat kesempatan untuk menjagaku. Kami sempat wawancara dengan beberapa orang, sepeti petugas keamanan, cleaning service, pedangan asongan, pengunjung dan pemilik  kios.
Tapi di sini aku tidak akan menyebutkan bagaimana perbincangan kami di sana, kisah akan kupercepat untuk menuju cerita selanjutnya.

Tujuan kedua, taman Bungkul sebelum itu kami kumpul semua untuk berganti teman, dn kali ini aku bersama si Time. Ah! Dia, seorang yang sok keren. Tapi yang ingin kuungkap sedkit bahwa saat itu aku tahu bahwa si Udin orang yang emosional dan agak temperamental, sedikit jengkel juga dengannnya. Baiklah toh tidak ada gua juga membahasnya lagi.
Selanjutnya kami ke Taman Bungkul, seperti tadi kami juga mengorek beberapa informasi tentang tempat ini, ada sekali banyak komunitas baik dari yang memberi manfaat ataupun yang hanya sekedar mengumbar tawa sesaat, beberapa pengunjung bahkan ada juga sarang para pemakai narkoba di sini, sementara itu ada juga pedagang, semua terlihat sangat bahagia, kbetulan mala mini sangat ramai. Banyak orang yang mengadu nasibnya di sni, berjualan mulai dari minuman, makanan ringan,  rokok dan lain-lain. Salah seorang pedagang bercerita bahwa ia sudah 25 tahun berjualan di sini padahal ia berasal dari jawa barat dan mengadu nasib di sini. Kutanya bagaimana keluarganya? Ternyata sang istri sudah meninggal dunia. Oh! Duka yang kusingkap pasti sangat menyakitkan.
Di sini, para pedagang ada yang berani secara terang-terangan ada juga yag menyembunyikan di balik tas plastik hitaam. Aku cukup heran, mengapa harus disembunyikan?
  Bukankah itu hal yang halal sebab bukan merampok dan mencuri?

Setelah itu, baru aku tahu ternyata walikota sempat melarang pedangan asongan sebab hanya memperbanyak sampah saja, begitu menurut keterangan seorang pedangan yang sempat kutanya.
Hal lain yang membuatku terkejut , ternyata di belakang taman bungkul ada makam seorang waliyullah Syaikh Bungkul namanya, bergegas aku menuju ke sana, ternyata dI sana sangat sepi sangat jauh berbeda dengan keadaan di taman. Sedikit sekali orang yang mencurahkan perhatiannya disini. Salah seoarng bapak yang kutemu di sana mengatakan bahwa, ketenaran makam ini kalah dengan taman bungkul sebab tidak semua pengunjung yang dating di taman mengetahui keberadaan taman ini.
Ah! Sangat disayangkan. Pikirku. 
Cukup terasa lelh, disamping itu terkadang si time bertingkah menjengkelkan dan suka mengulur waktu untuk menyelesaikan suatu hal.

Kami kumpul semua, waktu itu menjelang tengah malam, sejenak kami istirahat, duduk-duduk sembari menikmati minum dan makanan ringan. Kukira setelah ini akan mencari tempat tidur, sebab sangat ngantuk sekali rasanya akan tetapi, aku salah dan harapan itu harus kubuang jauh sebab kata tetua, perjalanan masih panjang semakin malam perjalanan akan semakin menuju tempat yang tidak pernah terduga sebelumnya.
Tujuan selanjutnya adalah wonokromo.  Aku tak tahu wonokromo itu tempat apa,  setelah tahu aku terkejut bukan main, hendak apa kesana? Mendengar namanya aku cukup merinding.
Kira-kira setengah satu perjalanan berlanjut , kami harus berjalan lagi, sangat jauh dan melelahkan juga. Bagaimana nanti akan memasukinya? Oh Allah, istighfar kuperbanyak.

Seelum masuk kami seperti biasanya, breefing dulu sembari ngopi, aku malas minum kopi lagipula lambung ini tidak bisa diajak kompromi dengannya, jadi aku hanya meminta milo hangat. Kami harus berhati-hati ketika berada di Dalam, bersikap wajar dan jangan sampai menimbulkan kecurigaan, berjalan seperti biasa dan tidak boleh merasa cemas dan takut.
Kami masih tetap harus berdua, dan akan dijaga oleh senior untuk kemanan karena tempat ini cukup berbahaya bagi kami terlebih jika mereka tahu kami adalah mahasiswa.

kali ini teman ditukar seperti saat di TP tadi, celaka! Sama udin! Alamat gagal, pikirku. Aku sudah sangat bad mood dengannya dan kini harus kembali dengannya?
Allah allah …
Tibalah aku dan udin mendapat giliran ketiga, aku masih waswas tapi berusaha bersikap tenang, tiba-tiba seorang tukang becak memberhentikanku dan menyuruhku untuk kembali, jangan masuk ke Dalam sebab sangat berbahaya, apalagi beliau tadi juga melihat beberapa temanku masuk ke sana. Kubilang padanya tidak aka nada apa-apa, pak. Kutinggalkan beliau dengan tersenyum dan beliau masih terlhat khawatir tapi akhirnya beliau mngucapka hati-hati padaku, juga pada Udin.
Masuk ke area stasiun mataku berpendar ke sana kemari, tapi tidak berani menggerakkan leher, hanya bola mata saja yang bergerak. Aku tahu aku menjadi pusat perhatian sebab di tempat seperti itu memakai rok lebar dan berjilbab. Sungguh pemandangan yang langka dan banyak yang berbisik-bisik tentangku. Kami berjalan sewajarnya dengan bercengkrama suara sangat lirih, dan anak ini sangat menyebalkan! Aku tahu tidak akan berhasil di sini, kami menuju sebuah warung memesan dua kopi, mau tidak mau aku harus meminumnya, di sana hanya aku dan si penjual yang perempuan, tak jauh di tempatku berada ada seorang wanita berdandan sangat menor. Untuk menjajakan diri, dugaku.

Setelah kira-kira sepuluh menit, kami kembali menyusuri rel-rel di sini, aku berharap bertemu dengan teman yang lain, tapi sepertinya meskipun ketemu toh saa saja kami tidak akan bsa bergabung. Aroma kemesuman sangat terasa di sini. Mulai dari prostitusi, perjudian, mungkin juga narkoba. Sebenarnya di sini aku juga harus tahu tentang suatu hal, tapi sepertinya tidak mungkin dengan kostumku seperti ini. Jadinya kami hanya duduk berdua saja di pinggir rel sembari menyaksikan pemandangan yang ada. Dan si udin mash juga menjengkelkan dan ini malah lebih parah lagi. Ingin kbungkam mulutnya yang lamis itu. Dasar!
Mataku masih juga mencari keberadaan teman-teman, yang tertangkap hanya sosok tetua yang mengawasi kami dari kejauhan, mungkin mereka heran mengapa kami hanya duduk saja?

Ah! Mereka tak tahu bagaimana jengkelnya saat itu. Setelah cukup lama kami memutuskan keluar dan berkumpul di tempat ynag sudah disepakati.
Sampai di sana kemudian tidak lama juga semua berkumpul.  Kami bertukar cerita, sungguh menarik jika mapu bertanya dengan orang-orang yang ada disana, tapi aku tidak bisa. Ada penyesalan tapi si Jamet menenangkanku. Tapi tetap saja aku masih dongkol dengan udin sebab ucapan dan tingkahnya ditambah di tempat ini kami tidak bisa duduk dengan nyaman sebab rumpur liar yang entah apa namanya butiran kecil yang menempel pada tubuh dan baju akan terasa sakit jika menusuk, ah semakin membuat tidak nyaman saja.
Tiba-tiba adzan subuh berkumandang, lah! Tak terasa waktu berjalan begitu cepat dan baru  kali ini aku tidak tidur semalaman dan melakukan perjalanan. Baiklah, sambil duduk-duduk kupejamkan sejenak mata ini karena sudah tak tertahankan. Kira-kira menjelang matahari terbit kami melanjutkan ke tempat selanjutnya. Tapi, sebelum perjalanan berlanjut ada banyak hal yang kutemukan di sini. Tak kuduga, di sudut kota ini ternyata ada tempat seperti itu yang bahkan pemerintah dan pihak keamanan tahu namun dibiarkan, hebatnya di sini setelah semalam menjadi tempat yang seperti itu jika pagi tiba seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa dan bersih tanpa sisa.

Hmm… sifat buruk yang dimiliki manusia adalah melihat seseorang dari tampilan luarnya saja, seperti menilai mereka, para wanita tunasusila. Kebanyakan dari mereka menganggapnya hina, tapi sebenarnya kita tidak tahu alasan apa yang menjadikannya menjadi seperti itu.  Terkadang seseorang memilih jalan keburukan sebab suatu alasan. Sebenarnya ia tidak ingin menempuh jalan itu, akan tetapi keadaan yang memaksanya. Seseorang selalu memiliki alas an atas pilihannya, bisa jadi yang boleh mengetahuinya hanya dirinya sendiri.

Dalam kelamnya hidup terkadang segalanya harus ditukar dengan uang, seperti kebahagiaan, nurani,  dan air mata, mengabaikan kebahagiaan dan ketulusan.
Yah. Itulah hidup banyak keindahan yang terbungkus kedukaan, setidaknya dari sana ada hal yang perlu diketahui bahwasannya dalam segala perjalanann hidup lihatlah segala hal, dimanapun itu yang pertama dan utama adalah tugas untuk bersyukur.
Melihat segala keadaan dengan empati.

Madura—Surabaya, 17 September 2016

Komentar

Postingan Populer