Sejarah yang Dipijak Kaki



Judul buku: Jejak Langkah
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Isi:  724 halaman
Tahun terbit: 2010, cetakan kedelapan
“kemuliaan sesorang datang hanya sebagai hasil dari pendidikan yang baik dan mulia. Salah satu ciri manusia modern adalah kemenangan individu attas lingkungannya dengan prestasi. Individu yang kuat sepatutnya bergabung untuk mengangkat sebangsanya yang lemah, memberi lampu yang kegelapan dan memberi mata pada mereka yang buta.”
Perang antar bangsa raksasa dan bangsa yang masih seperti bayi yang baru terlahir masih berlanjut. Perang pemikiran diantara para priyayi. Segala yang ada di Hindia adalah milik pemerintah Hindia, begitulah aturan main yang berlaku, perjalanan Minke belum berhenti, mengembara ke Betawi untuk bersekolah dokter namun sepak terjang yang dilakukan masih saja penuh halang rintang hingga beberapa bulan sebelum lulus darii sana ia harus dikeluarkan.
Hal itu tidak membuatnya risau, ia merasa lebih cocok menjadi manusia bebas dibandingkan menjadi dokter gubermen yang harus tunduk terhadap pemerintah koloonial saat itu.
Dimulailah perjuangannya, berusaha memperjuangkan kebenaran dan satu langkah besar yang membawa banyak perubahan: organisasi!
“Dirikan organisasi, sekarang juga, bersatulah! Tanpa memulai hari ini bangsa Hindia akan tertinggal jauh dan masih akan tetap dalam kejahilan”. Ujaran dokter tua dulu ketika ia msih menjadi siswa di sekolah dokter menjadi semangat dan lecutan baginya.
Mengapa harus organisasi?
Sebab Hindia kalah jauh dengan bangsa Arab dan Tionghoa dalam hal organisasi. Jika dihitung kekalahan skornya, Arab—pribumi 2—4, pribumi—tionghoa 0—4. Arab memulai tahun 1902 sedang saat itu 1904. Kemudian didirikanlah Boedi Oetomo, Sarikat Dagang Islamiyah kemudian pecah menjadi Sarikat Dagang Islam dan Sarikat Priyayi. Tapi sebelum itu Minke berhasil membuat ‘Medan Priyayi’ yang menjadi wadah bacaan pribumi.
Pertama kali bangsa pribumi memiliki media berita sendiri dan Minke berhasl menjadi manusi bebas dan berjuang sebagaimana untuk bangsanya. Perlawanan kolonialisme dengan jurnalistik. Penulis yang mampu melihat segi lain yang orang umum tidak tahu, berjuang untuk keadilan serta mendidik rakyat dengan organisasi, itulah Minke.
Sepak terjang yang luar biasa, pertemuan dengan para tokoh penting, persahabatan dengan seseorang yang lama berpisah, Jean Marais. Serta guru besar dalam kehidupannya, Nyai Ontosoroh yang menemukan kembali kebahagiannya. Yang tak lupu adalah kisah asmara Minke yang berkali-kali harus berakhir akan tetapi, ia selalu mendapat wanita yang istimewa dan tidak sembarang wanita.
Seri ketiga dari tetralogi Buru ini sangat menarik, Pram memberi cerita yang segar, menukik dan cerdas. Mengisahkan liku-liku watak emosi yang serba rumit. Perjalanan Minke menjadi siswa hingga menjadi seorang yang penting bagi bangsanya. Kisah-kisah yang memompa semangat kebangsaan, dirangkai dengan begitu indah.
Melalui buku ini Pram mengajari banyak hal, mukjizat organisasi dan menulis. Berjuang untuk keadilan.
Latar beragam menjadikan berbagai kisah memiliki keunikan tersendiri serta suasana yang juga beragam meski terkadang hanya terjadi satu waktu saja. Alur teratur menjadikan cerita ini satu persatu teruungkap sedikit demi sedikit hingga menjadikan pembacameraa penasaran.
Dibalik kehormatan mengintip kebinasaan, dibalik hidup adalah maut, dibalik kebesaran adalah kehancuran, dibalik persatuan adalah perpecahan, dan dibalik sembah adalah umpat. Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah—jalan ke arah kelestarian.
Bangkalan, 23 Oktober 2016

Komentar

Postingan Populer