Titik Merah Purabaya
Apakah sudah menjadi kodrat bahwa dunia keramaian sosial seringkali mengabaikan kenyamanan?
Itulah pertanyaan yang terbesit dalam benak ketika kaki ini sampai di terminal Purabaya.
Mengapa demikian? Ya begitulah, sesampai kaki tiba di pelataran terminal seketika akan disambut oleh para calo penumpang. Tidak hanya satu atau dua orang, mereka seperti semut yang berjejer menanti sekawanan lain untuk disambutnya. Hal itu tentu saja mengusik kenyamanan para calon penumpang dalam mencari bus yang akan dituju. Mereka akan terus bertanya dan mengejar. Baiklah, tidak menjadi masalah jika yang ditanya sedang tidak tergesa-gesa namun akan berbeda jika yang bersangkutan diburu waktu.
Belum lagi ketika sampai di dalam dan menuju tempat bus antar kota, terlebih di jajaran bus patas. Di sana akan semakin menjadi-jadi, ketika turun dari tangga di depan sudah penuh sesak oleh para calo, calon penumpang bahkan sampai kesulitan untuk lewat sebab mereka berkerumun dengan pertanyaaan-pertanyaan yang terdengar seperti lebah bergerombol. Tak jarang dari mereka menarik-narik penumpang agar ikut dengannya.
Kondisi capek, panas, ditambah tingkah mereka. Duuh semakin memperburuk mood saja.
Bahkan kemarin saya sempat salah jalur ke bus patas, seharusnya ke ekonomi. Di sana sepertinya sedang dikeroyok dan itu sangat mengganggu akhirnya saya kembali masuk ke ruang tunggu. Duduk sejenak sembari melepas kekesalan lalu berjalan ke jalur semestinya.
Sungguh tidak habis pikir, bukankah di sana ada petugas? Mengapa mereka tidak ditertibkan saja? Jika mencari penumpang lebih baik tidak seperti itu, jika perlu bolehlah mereka berbaris. Memang terlihat konyol namun setidaknya sedap dipandang dan kenyamanan tetap terjaga.
Diperlukan penertiban dari pihak yang bertanggung jawab agar kondisi tersebut tidak semakin parah karena yang menjadi taruhan adalah kenyamanan. Bagaimana suka jika tidak nyaman? Jika sudah tidak nyaman bisa dipastikan perlahan akan ada masalah lain dan bisa jadi masyarakat memiliki catatan merah tentang terminal tersebut.
Bagi para calo penumpang apakah mereka meragukan Dia Maha Pemberi Rizki? Jika para penumpang memang sudah menjadi rizkinya dengan tidak ada paksaan juga akan datang sebab memang butuh. Tidak perlu sedikit bahkan banyak memaksa yang dapat melahirkan amarah para calon penumpang, sebab di sana keberkahan akan berkurang.
Enjel tulisane kurang menarik, coba nek dibalik. Kenapa (yg kamu maksud calo itu) sampek kayak gitu nawar2, kok gak nunggu ae, kan lebih simpel dan tidak membuang tenaga
BalasHapusNulis e rodo emosi, Mas. Sek dipikir maneh. :D
BalasHapus