Jalan dari Tuhan
Selamat datang, kota Sultan.
Tuhan selalu menyelipkam pelajaran di setiap jalan yang ditempuh makhlukNya. Entah bagaimana manusia menafsiri, pastinya selalu ada yang terlihat jelas atau bahkan kabur sama sekali.
Ya, seperti kesempatan tempo hari, dimana kaki diharuskan sedikit menjelajah sebagian kecil kotaNya. Dimana? Yogya, Solo, Sleman.
Jangan dibayangkan bahwa ini perjalanan wisata, jika berpikir demikian jangan menyesal jika membaca keseluruhan kisah ini sebab tak ada cerita hunting dengan menghamburkan rupiah. Ini perjalanan melihat bagaimana kehidupan mereka, para empu kota kiblat orang Jawa.
Perjuangan sudah amat terasa sejak awal keberangkatan. Bagaimana tidak? Dengan pegangan finansial sangat dibatasi untuk keperluan kami berenam selama sepuluh hari ke depan.
Ya, jangan ditanya kami naik apa sebab sudah pasti kami naik kendaraan yang sangat berbeda dari umumnya.
Singkat cerita, kami tiba di kota Jonggrang malam hari dan berniat segera menuju kota Gudeg, namun sayang tiket Trans Jogja sudah habis. Alhasil, jadilah kami penunggu halte TJ. Lumayan lah bisa membersihkan diri dan ngecharge hp gratis.
Malam kota Jonggrang tak begitu ramah, dia memeluk makhluk kecil seperti kami dengan dekapan dingin yang sangat erat dan membuat kami menggigil teramat. Aku ingin malam itu cepat berlalu dan mengusir belenggu gigil yang begitu kejam.
Keesokan hari kami bergegas menuju kota Sultan orang Jawa, Jogja.
Tebak saja, kemana tempat tujuan pertama kami?
Jika berpikir Malioboro berarti dugaan itu sangat benar. Tempat ini selalu ramai dan menjadi ikon yang diperhatikan keberadaannya. Tapi sebelum itu, sebenarnya tujuan utama hari pertama bukan di sini melainkan di keraton.
Keraton, tempat dimana segala kekuasaan terpusat. Jika berbicara tentang keraton dan kerajaan yang terbesit dalam benak adalah kehidupan yang tak lepas dari unsur feodalisme. Entah asumsi ini benar atau terpengaruh bacaan dari si Pram. Tapi kenyataan memang seperti itu, mereka yang mengabdi dan lebih rendah kedudukannya harus menggelesot di tanah pada mereka yang lebih tinggi dan berpangkat. Ah! Memuakkan! Apa guna persamaan derajat dan pembebasan budak jika hal itu masih ada? Feodalisme adalah benih yang akan memunculkan penindasan di kemudian hari, menurutku. Mengapa? Sebab yang berkuasa bisa saja menyelewengkan kekuasaan dan rakyat kecil pasrah dan menerima begitu saja. Kehidupan macam apa itu? Kembali saja ke masa penjajahan.
Sepertinya harus kusudahi pembahasan ini sebelum ada ego yang terus memaksa untuk keluar dan mengadili dengan ucapan yang menentang kaum feodal.
****
Pasar kembang, sebuah tempat yang dipenuhi para penjual bunga. Itulah selintas gambaran pasar kembang di benakku. Namun setelah kutahu kini tak ada kembang sekaran atau kembang kantil serta lainnya yang dalam artian harum semerbak untuk nyekar atau ritual lain. Memang masih ada penjualan kembang, ya kembang (perempuan). Paras molek dan memesona serta semerbak penuh nafsu dan berbau rupiah. Tapi perihal tersebut tak sepenuhnya bisa disalahkan, seperti penilaian pada mereka yang ada di Wonokromo atau mungkin seperti Firdausnya Nawal El-Sadawi. Mereka memiliki alasan yang menjadi sebab terjun dalam dunia hitam. Memang tak ada manusia yang sepenuhnya suci, namun bukan berarti para pelac*r selalu penuh gelimang dosa. Jika dosa dilihat dan dinilai manusia lalu dimana letak keadilan Tuhan? Tuhan memiliki standar tersendiri dan kadang manusia selalu sok mengkafirkan pada sesama.
Kembali misi utama di Pasar Kembang atau lebih familiar dengan sebutan Sarkem. Memang di sini tak berhasil kutemukan mereka dengan aktvitas ekstremnya namun ketika di salah satu angkringan sekitar Sarkem berhasil kutemui hal menarik. Ternyata perjuangan mereka tidak bisa dikatakan remeh, menggoda pengunjung ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Mengapa? Ketika kuamati si perempuan setengah baya begitu lama bercakap-cakap dengan seorang bapak sopir ojek. Entah tawar-menawar yang model bagaimana, yang jelas setelah begitu lama transaksi tidak berlanjut. Sang bapak meninggalkan perempuan malam itu. Ya, begitulah hidup tak pernah lepas dari perjuangan. Banyak yang mengira menjadi pekerja s*ks itumudah, tinggal memberi pemuasan saja namun tak banyak yang tahu bahwa di balik itu seringkali rayuan mulut manis penuh duka mendapat penolakan. Entahlah, mengapa tiba-tiba kutuliskan semua ini? Pikiran dari mana ini? Namun ini adalah rencana Tuhan dan pembelajaran hidup di mana ada waktu melihat kehidupan di sisi lain. Hidup selalu saja menjadi guru, setiap waktu.
****
Oh ya, malioboro. Mengapa baru kubahas di akhir catatan? Alasan istimewa adalah ketika ia menjadi ranah pertama yang kupijak di kota Sultan ini.
Di sini dapat diketahui gambaran dari wujud kota Jogja. Pusat ekonomi di Beringharjo juga para penjual yang berjajar di sepanjang jalan Malioboro yang tak pernah sepi. Namun ketika malam yang banyak dijumpai adalah angkringan-angkringan. Ada istana kepresidenan yang berhadapan dengan benteng Vrederburg, seolah keduanya menjadi pengawal kaki Malioboro. Malioboro menjadi tempat strategis untuk sekedar berkumpul dan mengurangi beberapa rupiah dari kantong mereka dengan menukar jajanan serta pernak pernik.
Perwujudan catur tunggal memang tepat di sini, Keraton (pusat kekuasaan dan politik), Malioboro (sosialisasi), Beringharjo (ekonomi), dan Masjid Agung (peribadatan). Jogja memang guru yang baik dalam memberi pengajaran bergantung bagaimana mengambil dan melihatnya.
Beginilah perjalanan, kadang hati harus berpura butatuli untuk menghindari sakit hati.
Yakin saja bahwasannya perjalanan ini tidak sia-sia. Peluh menjadi saksi dan catatan ini adalah bukti bahwa perjalanan ini ada dan menjadi sebab keluar dari zona nyaman. Sejenak menjadi makhluk yang berani mencoba seperti meraka yang tidur beralas bumi juga beratap langitNya.
Semoga Allah memberkahi semuanya.
Yogyakarta, Februari 2017
Komentar
Posting Komentar