Sudut Kecil Pekodjan
Dunia tak memungkiri bahwasannya negeri yang kaya akan ras, budaya, dan agama adalah negeri kita tercinta.
Memang benar, kasat mata dilihat sepanjang Sabang sampai Merauke terjajar penampakan berbagai suku, budaya, dan agama. Tak ada masalah, sejak beribu tahun silam semuanya hidup bersandingan tanpa meributkan asal-usul masing-masing yang bisa memecah belah persatuannya. Keberagaman yang sedemikian indah tak luput dari letak Negara Indonesia yang sangat strategis. Berada di jalur perdagangan, diapit dua samudera dan benua. Hal itu memudahkan interaksi dan akulturasi dengan bangsa lain.
Interaksi yang terjadi pada awalnya disebabkan untuk berdagang lalu berlanjut dengan misi penyebaran agama. Kegiatan tersebut tak mungkin dilakukan dengan pulang--pergi setiap hari atau minggu, melainkan mereka setengah menetap selama beberapa bulan. Dari sana perlahan para pendatang menikah dengan penduduk asli daerah. Perdagangan yang cukup berpengaruh salah satunya adalah masyarakat Tionghoa, Arab dan India, dimana saat ini masih bisa dijumpai keturunannya.
Salah satu contoh daerah yang masih lekat dengan keragamannya adalah Kota Semarang, tepatnya di Kampung Pekodjan Tengah, Kelurahan Purwodinatan. Di sana terdapat tiga etnis berbeda, India atau dikenal dengan Koja (30%), Jawa (40%), dan Tionghoa (30%). Orang India dan Jawa di sana semua bergama Islam, Tionghoa sebagian ada yang Kristen dan Koghuchu.
Di Kampung Pekodjan Tengah tempat tinggal mereka berkelompok, yang mana orang Koja dengan sesamanya begitupun dengan etnis lain. Namun mereka masih bergaul dengan baik, tidak pernah ada persengketaan. Dalam hal pergaulan bisa dikatakan diantara ketiganya orang Jawa cukup fleksib bergaul dengan keduanya namun tak berarti Orang Tionghoa dan India sulit bergaul. Sebagai bukti bahwa mereka hidup berdampingan dalam keragaman yang baik, setiap bulan mereka mengadakan pertemuan yang disebut Forum 3. Forum ini dilaksanakan setiap tanggal 3 untuk membicarakan persoalan masyarakat dan lingkungan. Perbaikan untuk lingkungan dan meningkatkan rasa persaudaraan.
Selain itu, tenggang rasa antar masyarakat masih sangat telihat yang mana masing-masing masih melestarikan budaya tanpa ada yang keberatan jika budaya lain. Orang India masih kental dengan budaya dug-der (terbang atau banjari), sedangkan orang Tionghoa dengan budaya barongsainya
Selain dug-der ada juga ketika bulan Ramadhan tiba, tradisi memasak bubur India yang menjadikan masjid yang terletak di utara jalan kampung akan sangat ramai khususnya ketika sore hari menjelang maghrib. Bubur itu dibagikan gratis untuk menu berbuka puasa. Masjid tersebut merupakan peninggalan nenek moyang yang konon berasal dari Gujarat, India. Jika ditanya apakah ada klenteng? Ada, namun tidak terletak di Pekodjan melainkan di kampung Pecinan.
Di Kampung Pecinan, di sanalah golongan Tionghoa lain menetap. Lingkungan nuansa Cina akan sangat terasa. Rumah-rumah bercat merah, bau dupa, dan musik Tionghoa. Di sana sama halnya dengan Pekdodjan, orang Jawa dan Koja juga ada yang bermukim di sana, mereka hidup rukun satu sama lain tanpa mempermasalahkan ras.
Selain itu, fenomena terbaru yang cukup menarik perhatian sebagai bukti kerukunan antarumat bergama adalah peringatan haul ketujuh Gus Dur (30/12/2016). Kegiatan tersebut diisi dengan diskusi, mengenang jejak pemikiran dan aktivitas Gus Dur, serta pentas seni yang tidak hanya diikuti warga Tionghoa, melainkan juga Jawa. Bagi warga Tionghoa Pecinan, Gus Dur sudah sangat melekat di hati mereka bahkan di altar gedung suci Pecinan nama beliau tertulis di papan.Mengapa warga Pecinan sedemikian menghargai Gus Dur? Dulu Saat menjabat sebagai Presiden, Gus Dur mencabut Inpres tentang perayaan budaya Tionghoa warisan orde baru, sehingga perayaan budaya Tionghoa dapat dirayakan kembali. Atas perannya tersebut, Gus Dur ditetapkan sebagai Bapak Pluralisme Indonesia. Gelar tersebut sendiri diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yodoyono pada 2009 lalu.
Hingga saat kni baik yang berada di Pecinan maupun Pekodjan mereka bermasyarakat dengan baik tanpa mempermasalahkan ras masing-masing. Adanya arus modernisasi juga tidak menggoyahkan dan menghilangkan keragaman mereka.
Mereka sadar bahwasannya keragaman bukan untuk dipermasalahkan, sebab kehidupan masyarakat yang beragam menjadikan mereka memiliki ciri khas tersendiri. Jika bisa berdamai dengan keberagaman mengapa harus berkoar-koar mempertahankan keseragaman?
Komentar
Posting Komentar