Memoar Luka Seorang Muslimah




Judul buku: Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur!
Penulis: Muhidin M Dahlan
Penerbit: Seri Pta Manent, Yogyakarta
Isi buku: 261 Halaman
Cetakan: ke-14 Juni 2010
            ”Perempuan yang berstatus istri tak ada bedanya dengan pelacur. Mereka adalah penikmat dan pelayan seks laki-laki.” (Nidah Kirana)
Novel ini mengisahkan kehidupan seorang mahasiswi, Nidah Kirana. Bermula saat ia berkuliah di Kampus Biru. Mulanya, ia termasuk mahasiswi yang biasa saja pengetahuan agamanya, bahan dikenal dengan remaja yang bandel. Namun, ia memiliki teman pondok yang selalu saja mendukungnya untuk lebih jauh belajar dan memahami Islam. Seringkali mereka hadir dalam kajian yang ada di Masjid kampus. Ia seorang muslimah yang menutup aurat dengan sangat baik, jubah dan kerudung besar. Kiran menjadi remaja yang rajin beribadah sebab belajar dari teman pondoknya tersebut, Rahmi Rahimmah. Namun, tiba-tiba saja Rahmi pergi dari pondok tersebut sebab ibunya menyuruh pulang. Ternyata kepergian Rahmi membuat Kiran begitu merasa sepi dan sendiri, sebab tak ada lagi yang diajak diskusi hal-hal agama, teman-teman  yang ada di kamarnya tidak bisa diajak berdiskusi dan cuek.
Kekosongan hati dilampiaskan dengan membaca Alquran dan ia menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran rasul, rajin berpuasa tidak memakan daging melainkan hanya roti dan susu.
Namun, kisah mulai berbeda semenjak ia bertemu dengan seorang pemuda bernama Dahiri yang ditemui setelah kajian di masjid. Dahiri memberi pengetahuan baru bagi Kiran, di depannya seolah Kiran adalah kerba betina yang dicocok hidungnya, merasa begitu bodoh. Setelah pertemuan itu, mereka lebih sering bertemu dan berdiskusi. Hingga suatu ketika Dahiri mengajaknya untuk bergabung dalam suatu jemaat yang ingin mendirikan daulat islamiyah di negara ini. Dengan segera Kiran ingin bergabung, namun dilarang sebab harus berpikir terlebih dahulu. Selang beberapa hari Kiran menyatakan diri untuk bergabung dalam jemaat (red: Islam garis keras) tersebut dan ia dibaiat.
Setelah bergabung dengan mereka Kiran merasakan hal ganjil. Pasalnya, seperti ada hal yang dirahasiakan, setiao ia bertanya suatu hal jawaban yang didapat hanya diam dan tanggapan yang tidak mengenakkan. Tidak ada diskusi agama di sana, anehnya para akhwat sering menonton siaran TV  hingga larut malam acara yang mereka sebut kafir.semain lama ia tidak tahan berada di sana, ibadahnya semakin surut dan kekecewaan hatinya makin memuncak sebab dulu ia menyangka dengan bergabung jemaat ini ia bisa berdakwah lebih giat dan mengembalikan aqidah umtat muslim yang kafir. Puncaknya, ia melarikan diri.
Kemudian ia terpuruk dan hidup dalam dunia hitam. Minum pil penenang dan menjadi perempuan yang berpetualangan seks bebas dengan para lelaki. Uniknya, setiap lelaki yang pernah berhubungan intim dengannya adalah mereka yang dianggap oleh orang sekitar. Pemuka mahasiswa, pemuka sebuah jemaat islam yang pernah dianut dahulu, bahkan seorang dosen pembimbing skripsinya yang akhirnya menjadi germo bagi Kiran. Lantarann dosen tersebut Kiran menjadi Pelacur kelas eksekutif dan hanya mau jika dibayar mahal, tidak seperti dahulu saat masih suka berganti pacar dan hanya bermain seks gratis.
Muhidin menyajikan kisah yang berlatar kehidupan kiblat orang Jawa, Yogyakarta. Dengan alur maju dan konflik yang begitu menarik. Karya Muhidin sempat menuai banyak kontroversi, ada pihak yang menyebutnya menyebar fitnah, menyudutkan jemaat tertentu, antek-antek zionis dan lainnya.

Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur!, mengingatkan kisah Firdaus dalam Women at Point Zero karya Nawal El Sadawi. Begitu miris nasib seorang perempuan yang menjadi korban kehidupan. Pernyataan Kiran di pembukaan tulisan mirip dengan Firdaus yang mengatakan bahwa setiap perempuan adalah pelacur dalam bentuk yang beda. JikaFirdaus menjadi pelacur karena ayah, paman, kekasih yang mendidiknya untuk seperti itu, berbeda dengan Kiran sebab kekecewaan hatinya akan Tuhan dan keadaan serta untuk merobek topeng para lelaki yang seolah gagah, alim, dan kuat.
Perempuan menjadi pihak yang kalah namun ia berusaha menang. Dimana letak kemenangannya? Pertama, Firdaus merasa menang sudah membunuh seorang lelaki yang biadab. Kedua, Kiran berhasil menguak kedok-kedok para lelaki yang berlawanan dengan sampul dan penampilan luarnya.
Keduanya juga memiliki kesamaan lain, sama-sama diangkat dari kisah nyata yang merupakan memoar luka seorang perempuan.
Muhidin dan Nawal, menyajikan kisah realita yang dibalut dengan fiksi begitu indah dan menarik. Terasa menyakitkan seolah lelaki adalah makhluk yang pantas ditampar dengan tangan iblis yang begitu menyakitkan atau bahkan dibunuh.
Kedua buku ini layak menjadi bacaan baik bagi para perempuan ataupun lelaki utuk mengetahui sisi lain dari kehidupan. Tak sepenuhnya  pelacur selalu buruk dan tak sepenuhnya pula lelaki dengan tampilan yang terlihat baik, sopan, dan lugu juga serupa di dalamnya.
Ada banyak rahasia yang masih samar, terkadang mereka yang terduga adalah para penunjuk sebuah kebenaran.


Komentar

Postingan Populer