Episode Permulaan
Puisi Idatus Sholihah
Pernah dimuat di Koran Radar Surabaya edisi 26 November 2017
Mengutuk Waktu
Sepertiga malam
Kau tutup dengan kesedihan
Mengenang sajak
Yang tak diterima
Kutukan aksara, meraung
Menyebut nama-nama penyihir rasa
Tokoh perebut mimpi
Menjadikan gurat-gurat pesakitan
Luka ada
Cela tiada alpa
Atas lahir duka di tanah seberang
Tempat gadismu mengucap salam perpisahan
Batinmu terserak
Jiwamu masih menjadi budak
Mengabdi dan dilemahkan
Oleh kenangan
Bangkalan, 2017
Tragedi Subuh
Menemukan gubuk tanpa cahaya
Mungkin lentera baru saja mati
Bersama napasmu, menghisap kenang
Tak ada musim hujan menyejukkan
Tersisa dingin, begitu pekat
Juga abadinya kesendirian
Dan langkah tak bertujuan
Kau pergi ke gubuk kecil
Di sudut perkampungan
Berpagar bambu berpintu kayu randu
Tertata meja tua, taplak usang
Dinding bambu rapuh di sudut ruang
”Voila!”
Masih ada
Potret lusuh ditandai garis-garis benci
Kau pernah mengutuknya
Dengan pesan-pesan singkat yang laknat
Sepanjang datangnya fajar
Sewaktu meredupnya cahaya di matamu
yang penuh sakit-rindu
Tuban, 2017
Elegi Jalan Lempang
Sendiri di jalan lempang
Menendang botol-botol kosong
Menghantam muka pasi malam
Bayang ayu itu menjelma
Di kaca lusuh gedung tua
Ia berbisik rindu
Sembari berlari di muka pintu
Na,
Kemari, kuingatkan sedikit kisah
Rindu yang dulu disepakati
Juga lagu-lagu sepi
Ketika itu
Lagu sore baru saja mengalun lepas
Seperti senyummu yang tetiba mengeras
Sampai malam datang
Aku telah kembali ke jalan lempang
Bangkalan, 2017
Malam Basah
Malammu basahi peranakan sungai
Mata resah:
Menyiram tandus batin
Mengenang kisah yang kemarin
Sapu tangan coklat mengusap
Pipi-pipi yang tak tercium sejak lusa
Mata yang tak lagi ditatap mesra
Sekali sejak itu
Sepi mengembara
Dipeluk gigil
Wujudnya abadi
Malam datang
Kau bertanya:
Kemana putrinya pergi?
Menuju sepi, jawabnya
Kau kembali sadar
Malammu basah
Kenangan mati kemudian
Semarang, 2016
Sajak Tanpa Nama
Dua puluh lima sajak
Suatu Agustus dikirim
Terselip di buku, tas, dan pintu rumahku
Amplop merah muda
Beraroma bulgaria
: Tanpa nama
Aku tak tahu
Bagaimana membaca lalu memaknai
Sedang diri bukan penyair
yang pandai menyulap rasa
Lalu lahir persetubuhan aksara
Sesekali setelah itu
Hari-hari seperti berlalu
Sajak dengan amplop merah muda
Terus bertamu
Aku membaca sembari tersipu
Bangkalan, 2017
Pernah dimuat di Koran Radar Surabaya edisi 26 November 2017
Mengutuk Waktu
Sepertiga malam
Kau tutup dengan kesedihan
Mengenang sajak
Yang tak diterima
Kutukan aksara, meraung
Menyebut nama-nama penyihir rasa
Tokoh perebut mimpi
Menjadikan gurat-gurat pesakitan
Luka ada
Cela tiada alpa
Atas lahir duka di tanah seberang
Tempat gadismu mengucap salam perpisahan
Batinmu terserak
Jiwamu masih menjadi budak
Mengabdi dan dilemahkan
Oleh kenangan
Bangkalan, 2017
Tragedi Subuh
Menemukan gubuk tanpa cahaya
Mungkin lentera baru saja mati
Bersama napasmu, menghisap kenang
Tak ada musim hujan menyejukkan
Tersisa dingin, begitu pekat
Juga abadinya kesendirian
Dan langkah tak bertujuan
Kau pergi ke gubuk kecil
Di sudut perkampungan
Berpagar bambu berpintu kayu randu
Tertata meja tua, taplak usang
Dinding bambu rapuh di sudut ruang
”Voila!”
Masih ada
Potret lusuh ditandai garis-garis benci
Kau pernah mengutuknya
Dengan pesan-pesan singkat yang laknat
Sepanjang datangnya fajar
Sewaktu meredupnya cahaya di matamu
yang penuh sakit-rindu
Tuban, 2017
Elegi Jalan Lempang
Sendiri di jalan lempang
Menendang botol-botol kosong
Menghantam muka pasi malam
Bayang ayu itu menjelma
Di kaca lusuh gedung tua
Ia berbisik rindu
Sembari berlari di muka pintu
Na,
Kemari, kuingatkan sedikit kisah
Rindu yang dulu disepakati
Juga lagu-lagu sepi
Ketika itu
Lagu sore baru saja mengalun lepas
Seperti senyummu yang tetiba mengeras
Sampai malam datang
Aku telah kembali ke jalan lempang
Bangkalan, 2017
Malam Basah
Malammu basahi peranakan sungai
Mata resah:
Menyiram tandus batin
Mengenang kisah yang kemarin
Sapu tangan coklat mengusap
Pipi-pipi yang tak tercium sejak lusa
Mata yang tak lagi ditatap mesra
Sekali sejak itu
Sepi mengembara
Dipeluk gigil
Wujudnya abadi
Malam datang
Kau bertanya:
Kemana putrinya pergi?
Menuju sepi, jawabnya
Kau kembali sadar
Malammu basah
Kenangan mati kemudian
Semarang, 2016
Sajak Tanpa Nama
Dua puluh lima sajak
Suatu Agustus dikirim
Terselip di buku, tas, dan pintu rumahku
Amplop merah muda
Beraroma bulgaria
: Tanpa nama
Aku tak tahu
Bagaimana membaca lalu memaknai
Sedang diri bukan penyair
yang pandai menyulap rasa
Lalu lahir persetubuhan aksara
Sesekali setelah itu
Hari-hari seperti berlalu
Sajak dengan amplop merah muda
Terus bertamu
Aku membaca sembari tersipu
Bangkalan, 2017
Komentar
Posting Komentar