Adaptasi Film: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dan Realita Sastra yang Dekat
Hari pertama launching, dari jauh hari saya tidak sabar menunggu. Bagaimana adaptasi film dari novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan ini. Jujur, awalnya saya tidak banyak berekspetasi dengan film ini, khawatir mengecewakan seperti beberapa ekranisasi film dari beberapa karya sastra Indonesia sebelumnya. Namun ada secercah harapan ketika menilik para pemain. Memang, rata-rata aktor tersebut kurang familiar bagi era saat ini, apalagi adanya aktor senior seperti pemeran Paman Gembul (Piet Pagau), Mak Jerot (Christine Hakim), Codet (Lukman Sardi). Saya penasaran bagaimana eksekusi Djenar Maesa Ayu sebagai Rona Merah, tapi ternyata hanya sekilas karena memang Rona Merah adalah ihwal masa lalu atas derita Ajo Kawir. Keberadaan sosok Reza Rahadian sebagai Budi Baik namun dia menggambarkan sosok toxic masculinity yang real. Palari Films berhasil menggaet beberapa aktor tersebut untuk strategi pemasaran dan promosi film yang bisa dibilang cukup sukses. Track record adaptasi novel ke film oleh sutradara film ini juga baik, seperti salah satunya film Aruna dan Lidahnya.
Membicarakan
adaptasi film atau dalam ranah sastra Indonesia dikenal dengan Ekranisasi ini
merupakan bukan hal baru lagi, hampir setiap tahun ada beberapa karya sastrawan
Indonesia yang diangkat ke layar lebar. Secara garis besar baik dalam film
ataupun novel ini menceritakan seorang tokoh utama lelaki, Ajo Kawir (Marthino
Lio) yang memiliki permasalahan krusial sebagai lelaki, yakni ‘burung’ tidak
bisa berdiri (impoten), pergolakan batin perempuan pada tokoh Iteung, dan
dendam-dendam yang dimiliki pada tiap tokoh.
Ajo
Kawir tumbuh sebagai lelaki yang tidak takut mati, dia dikenal sebagai pemuda
dari kampung Bojongsoang yang gemar berkelahi dan jagoan. Hampir setiap
perkelahian dimenangkan. Dia tidak memiliki alasan yang tepat, dia merasa bahwa
harus menyalurkan ekspresi kemarahan dalam dirinya melalui pertarungan. Impoten
yang dialami sejak usia kanak-kanak hingga dewasa menjadi alasan seolah ia
tidak takut mati karena memang tidak ada yang harus dipertahakan dan
dipertaruhkan. Hingga suatu ketika kedatangan seorang gadis yang tidak bisa
mengubah persepsi tentang hakikat kenikmatan seks tanpa persetubuhan sempurna,
merasa takut kehilangan dan memiliki alasan.
Feminisme dan Toxic Masculinity realita
yang dekat
Tokoh
utama perempuan dalam film ini bernama Iteung (Ladya Cheryl), dia sosok yang
menjadi kekasih hingga kemudian menjadi istri Ajo Kawir. Iteung digambarkan sebagai perempuan kuat,
bahkan di awal pertemuan dengan Ajo Kawir dia memulai perkelahian. Dia menjadi
salah satu murid perguruan bela diri yang mana hampir seluruh murid perguruan
tersebut adalah lelaki. Berangkat dari latar belakang tersebut, dia merupakan
sosok yang tidak mudah dikalahkan, pendekar perempuan. Dalam novel ataupun film
bahkan dirinya tidak gentar membunuh orang yang berbuat ketidakadilan kepada
dirinya dan suaminya.
Jika
dilihat, Ajo Kawir memiliki power yang sama untuk membunuh orang yang
menjadi penyebab kesengsaraan atas mahkota kelelakiannya, namun dia memiliki
misi lain untuk menuntaskan hasrat perkelahian. Iteung mengambil alih, balas
dendam atas penyebab kemalangan suaminya, tentu saja tanpa sepengetahuan Ajo
Kawir. Salah satu hal tak terduga adalah ketika ia tak gentar membunuh Budi
Baik, salah satu tokoh potret yang mewakili adanya toxic masculinity.
Dia menganggap bahwa dia bisa membahagiakan Iteung hanya dengan seks yang
sempurna melalui senggama, yang mana itu tidak bisa diberikan Ajo Kawir karena impoten.
Potret lain adanya toxic masculinity, yakni keberadaan Pak Toto, sebagai
guru SD Iteung. Dia merasa memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk memperdaya
sosok Iteung kecil, sehingga ketika selesai sekolah ia memberi Iteung tugas
khusus sebagai alibi kemudian menjadikan gadis kecil tersebut korban pelecehan
seksual.
Kedua
isu tersebut bukan hal asing, sering kita jumpai bahwa orang-orang dengan kuasa
yang dimiliki dengan seeenaknya memperlakuan perempuan dan melecehkan. Bahkan
gencar juga era saat ini, bagaimana tingginya kasus pelecehan seksual. Melihat
film ini, kita disadarkan kembali bahwa realita masyarakat kita sejatinya sejak
dulu tidak pernah lepas dari adanya kekerasan seksual, baik kepada anak atau
orang dewasa. Sialnya, seringkali korban merasa tidak berdaya, seperti Iteung
kecil yang memilih untuk diam dan memendam luka dan trauma masa kecilnya.
Adanya power dan kekuasaan yang dimiliki bagi sebagian orang adalah
kesempatan untuk menjerat korban karena tidak berdaya sehingga tindakan
tersebut menjadi celah yang merugikan korban yang tidak memiliki kekuatan
melawan.
Film
dan Dekontruksi Kecantikan
'Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar
Tuntas', nilai tersendiri dari film ini adalah tidak menghilangkan esensi
darimana cerita berasal, latar tahun '80 an. Khas dialog memakai bahasa Indonesia baku
dalam percakapan, seperti 'aku', 'kau', 'tak', dan beberapa pilihan kata lain.
Penggambaran latar yang khas, atribut rumah tangga mulai dari
peralatan makan, atribut kecantikan Iteung seperti lotion pink era lawas,
minyak rambut berbotol hijau,, hingga cara berpakaian dan penampilan para tokoh cukup menarik sesuai
latar cerita. Berbicara penokohan, mereka adalah orang-orang yang pas, namun saya
merasa ada yang janggal dengan tokoh Iteung, ketika berdialog penekanan
bahasanya kurang pas, nada mengambang dan tidak mantap.
Hal-hal tabu diungkap jelas dalam
film ini, adegan 18+ tanpa sensor, gambaran penyimpangan seksual, dan
umpatan-umpatan yang terlontar dari para tokoh, seperti ‘lonte’, ‘bajingan’,
‘anjing’, ‘babi’, dan lainnya.
Membahas adaptasi novel, seperti
karya Eka Kurniawan yang lain yang lekat dekat surealis magis, film ini tetap
tidak menghilangkan rasa penasaran saya terhadap sosok Jelita, jika dalam novel
saya merasa dia adalah sosok surealis magis, beberapa kali mampu masuk ke dalam
mimpi Ajo Kawir dan membuat ‘burung’ berdiri. Namun, dalam film tinggal efek
magis saja, sosok Jelita tiba-tiba muncul dari timbunan sampah pinggir laut,
muncul ke rumah tua Rona Merah, dan hilang tiba-tiba dari sisi Ajo Kawir
setelah menceritakan rumor gadis dari utara.
Beberapa aspek novel dihilangkan dari
film, seperti dark jokes dari Ajo Kawir yang senantiasa mengajak dialog
'burungnya' dan menjadi salah satu teman dalam mengambil keputusan juga tidak
dimunculkan dari film ini. Selain
itu, bagian seperti masa
kecil Ajo Kawir dan Tokek, yang mana mereka anak-anak yang tumbuh dalam didikan religius.
Variasi dalam film dimunculkan ketika membahas pelecehan seksual dari seorang
guru kepada murid. Mulanya itu merupakan kisah Pak Toto dan Iteung, namun dalam
film divariasi sebagai
rumor sebagai cerita gadis dari Utara yang dikisahkan Jelita kepada
Ajo Kawir.
Keberadaan tokoh Jelita pada film ini memperjelas dekontruksi kecantikan. Kecantikan
merupakan konstruksi penting femininitas dalam novel-novel karya Eka Kurniawan.
Citra dan simbol feminin, muncul melalui kecantikan, keanggunan.. Namun tokoh yang
bernama Jelita, merubah pola teresebut dan menampilkan dekontruksi kecantikan
sebab kenyataan wajah yang buruk rupa dan aneh.
Sebagai penutup, pelengkap dari film
ini memiliki soundtrack yang relate, lagu
dinyanyikan oleh Ananda Badudu dan Rubina.
Jika diresapi, lagu ini pas untuk mewakili kegelisahan, emosi dan sisa amarah silam.
Ketidakadilan dan kehendak melawan. Bangun, bajingan berdiri dan lawan!
Komentar
Posting Komentar