Eksploitasi Perempuan yang Seringkali Tidak Disadari
Dalam sebuah pagi yang cerah, seorang ibu bangun sebelum matahari terbit, menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya, membersihkan rumah, dan mengatur segala kebutuhan keluarga sebelum kemudian berangkat ke kantor untuk menjalani hari sebagai profesional. Sore hari, ia pulang dan kembali melanjutkan tugas domestiknya tanpa jeda. Adegan ini begitu biasa, begitu normal, hingga kita tidak lagi mempertanyakan beban ganda yang dipikulnya. Inilah wajah pertama eksploitasi terhadap perempuan yang sering tidak disadari, eksploitasi yang terselubung dalam balutan cinta, kewajiban, dan norma sosial.
Eksploitasi terhadap perempuan tidak selalu berupa perdagangan manusia atau kerja paksa di negara orang. Justru bentuk yang paling samar terlihat dan paling berbahaya adalah yang telah terinternalisasi sedemikian dalam dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dianggap sebagai takdir, kodrat, atau bahkan pengorbanan yang mulia. Eksploitasi ini bersifat sistemik, terstruktur, dan didukung oleh budaya patriarki yang telah berusia ratusan tahun. Ia bekerja dalam diam, menggerogoti potensi, kesehatan mental, dan hak-hak dasar perempuan tanpa banyak yang menyadarinya, bahkan oleh para perempuan sendiri.
Dalam ranah domestik, beban kerja perempuan sering tidak diakui sebagai kerja. Seorang ibu rumah tangga yang bekerja dari pagi hingga larut malam tidak pernah dihitung dalam statistik tenaga kerja, tidak menerima gaji, apalagi tunjangan kesehatan. Padahal, jika semua pekerjaan domestik mulai dari memasak, membersihkan rumah, merawat anak, hingga mengelola keuangan keluarga diukur secara ekonomi, nilainya bisa mencapai ratusaan juta rupiah per tahun. Namun, dalam pandangan masyarakat, ini dianggap sebagai "kewajiban" perempuan. Ketika seorang suami "membantu" pekerjaan rumah, itu dianggap sebagai kemewahan, bukan tanggung jawab bersama. Normalisasi ini adalah bentuk eksploitasi terselubung yang pertama.
Tidak berhenti di situ, perempuan yang memutuskan untuk bekerja di ranah publik juga menghadapi eksploitasi dalam bentuk lain. Budaya korporat sering memanfaatkan "soft skills" perempuan seperti empati, kesabaran, dan kemampuan merawat sebagai alat untuk mengeksploitasi tanpa kompensasi yang setara. Perempuan lebih sering ditempatkan di posisi yang membutuhkan keterampilan emosional, seperti customer service, perawat, guru, atau sekretaris, yang upahnya cenderung lebih rendah dibandingkan posisi teknis yang didominasi laki-laki. Belum lagi fenomena "glass ceiling" yang membatasi karier perempuan, meskipun kompetensinya tidak diragukan.
Contoh nyata dari eksploitasi ini dapat dilihat dalam kasus-kasus yang dilaporkan media. Pada tahun 2023, sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat menemukan bahwa 60% perempuan pekerja di sektor informal tidak memiliki kontrak kerja yang jelas, upah di bawah standar, dan tidak memiliki akses terhadap jaminan sosial. Mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga, perawat lansia, atau pekerja lepas di industri kreatif, sering tanpa perlindungan hukum. Ketika hak-hak mereka dilanggar, banyak yang memilih diam karena takut kehilangan pekerjaan atau tidak tahu harus mengadu ke mana.
Di dunia digital, platform media sosial, yang seharusnya menjadi ruang berekspresi, justru sering menjadi alat eksploitasi terselubung. Perempuan didorong untuk mempresentasikan diri secara sempurna menjadi ibu yang ideal, istri yang penyayang, dan profesional yang sukses tanpa menunjukkan kerumitan di baliknya. Tekanan untuk tampil sempurna ini tidak hanya melelahkan secara mental, tetapi juga dimanfaatkan oleh industri untuk menjual produk, dari kosmetik hingga program parenting, dengan menjadikan ketidakamanan perempuan sebagai komoditas.
Selain itu, algoritma media sosial sering mengabadikan stereotip gender. Perempuan yang menyuarakan pendapat politik atau isu-isu sosial kritispaling rentan menjadi target ujaran kebencian dan pelecehan daring. Pada tahun 2024, sebuah laporan dari Amnesty International menyoroti bagaimana perempuan jurnalis dan aktivis di Indonesia menerima ancaman kekerasan berbasis gender secara online, yang tidak hanya memengaruhi kesehatan mental mereka, tetapi juga membungsu suara mereka. Ini adalah bentuk eksploitasi yang menggunakan ketakutan sebagai alat kontrol.
Di bidang kesehatan, juga tak luput. eksploitasi terhadap perempuan juga terjadi, meski sering tidak terlihat. Banyak perempuan didorong untuk melakukan prosedur kosmetik atau mengonsumsi produk tertentu untuk memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis. Industri ini meraup keuntungan miliaran rupiah dengan memanfaatkan ketidakpuasan perempuan terhadap tubuh mereka. Sementara itu, isu-isu kesehatan perempuan yang mendasar, seperti endometriosis, menopause, atau kesehatan mental, justru sering diabaikan dan tidak mendapat perhatian serius dalam sistem kesehatan.
Tidak kalah penting, eksploitasi intelektual dan kreatif juga dialami perempuan. Dalam dunia akademis, perempuan sering dihadapkan pada "double bind"—di mana mereka harus tampil kompeten tetapi tidak terlalu agresif, tegas tetapi tidak terlalu dominan. Ide-ide perempuan dalam rapat atau diskusi sering tidak didengar, hanya untuk kemudian diulang oleh rekan laki-laki mereka dan mendapat pengakuan. Fenomena ini, yang dikenal sebagai "hepeating," adalah bentuk eksploitasi yang halus namun berdampak besar pada karier dan kepercayaan diri perempuan.
Lalu, mengapa semua ini tidak disadari? Salah satu alasannya adalah internalisasi nilai-nilai patriarki yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Perempuan diajarkan untuk mengutamakan orang lain, mengorbankan diri untuk keluarga, dan tidak mengeluh. Pengorbanan ini kemudian dipromosikan sebagai "keutamaan" yang harus dibanggakan. Selain itu, minimnya edukasi tentang hak-hak perempuan dan ketimpangan gender membuat banyak perempuan tidak menyadari bahwa mereka sedang dieksploitasi. Mereka menganggap beban ganda, upah rendah, atau pelecehan verbal sebagai sesuatu yang wajar.
Namun, kesadaran adalah langkah pertama untuk melawan. Perlahan-lahan, suara-suara perempuan mulai terdengar. Gerakan-gerakan seperti #MeToo dan #TimesUp telah membuka ruang percakapan tentang eksploitasi dan kekerasan berbasis gender. Di Indonesia, organisasi seperti Migrant Care dan Komnas Perempuan terus mengadvokasi hak-hak perempuan, baik di ranah domestik maupun publik. Namun, perjuangan ini tidak bisa hanya dibebankan pada perempuan. Laki-laki harus terlibat aktif dalam mendekonstruksi norma-norma gender yang timpang, baik di rumah, tempat kerja, maupun masyarakat.
Pemerintah juga memiliki peran krusial. Regulasi seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah langkah maju, tetapi implementasinya perlu diperkuat. Pendidikan gender inklusif harus diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah agar generasi muda dapat membangun hubungan yang setara dan menghargai hak-hak perempuan. Selain itu, perusahaan perlu didorong untuk menerapkan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, seperti upah yang setara, cuti parental untuk kedua orang tua, dan lingkungan kerja yang bebas dari diskriminasi.
Pada akhirnya, mengungkap eksploitasi yang tidak disadari terhadap perempuan adalah tentang membuka mata kita semua terhadap ketidakadilan yang telah dinormalisasi. Ini tentang mengakui bahwa cinta dan pengorbanan tidak seharusnya menjadi pembenaran untuk beban yang tidak setara. Perempuan bukanlah superhero yang harus mampu melakukan segalanya tanpa keluh kesah. Mereka adalah manusia dengan hak untuk beristirahat, berkembang, dan mengejar kebahagiaan tanpa dibebani oleh ekspektasi sosial yang tidak adil.
Perjalanan menuju kesadaran ini mungkin panjang dan berliku, tetapi setiap langkah kecil—dari membagi pekerjaan rumah tangga secara adil, mendengarkan suara perempuan tanpa prasangka, hingga mendukung kebijakan yang setara—adalah sebuah revolusi. Eksploitasi terhadap perempuan mungkin sering tidak disadari, tetapi dengan kesadaran kolektif, kita dapat mengubahnya menjadi pengakuan, keadilan, dan kemerdekaan yang sesungguhnya.

Komentar
Posting Komentar