Ekofeminisme: Mengurai Akar Penindasan Ganda Terhadap Perempuan dan Alam

 



Ekofeminisme, sebuah filsafat sekaligus gerakan sosial yang lahir pada tahun 1970-an, menawarkan lensa kritis yang radikal untuk memahami krisis ganda yang melanda planet kita: krisis lingkungan dan krisis ketidakadilan gender. Istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh feminis Prancis, Françoise d’Eaubonne, ini bukanlah sekadar gabungan kata antara ekologi dan feminisme. Ia adalah sebuah tesis yang berani dan mendalam, yang berargumen bahwa penindasan terhadap perempuan dan eksploitasi terhadap alam memiliki akar yang sama: logika dominasi patriarki-kapitalis. Dalam pandangan ekofeminisme, sistem yang membenarkan penindasan terhadap perempuan sebagai entitas yang lebih rendah dan emosional adalah sistem yang sama yang memandang alam sebagai sumber daya tak terbatas yang pasif, yang sah untuk dieksploitasi demi keuntungan ekonomi dan kekuasaan maskulin. Keduanya—perempuan dan alam—telah dikonstruksikan sebagai "Yang Lain" atau objek, dan karenanya, keduanya menjadi korban dari pola pikir yang mengagungkan hierarki, kontrol, dan pertumbuhan tanpa batas.

Kritik utama ekofeminisme diarahkan pada logika dualistik patriarki yang telah merasuk jauh dalam budaya Barat dan kemudian menyebar melalui modernisasi. Logika ini secara hirarkis membagi dunia menjadi pasangan biner yang timpang: akal lebih tinggi daripada emosi, budaya lebih tinggi daripada alam, laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, dan pemilik modal lebih tinggi daripada tenaga kerja. Dalam setiap pasangan ini, elemen yang dilekatkan pada perempuan dan alam—emosi, tubuh, dan materi—selalu diletakkan di posisi yang lebih rendah, yang harus dikuasai dan dikendalikan oleh elemen yang dilekatkan pada laki-laki dan kekuasaan—rasio, teknologi, dan modal. Teori ini menyimpulkan bahwa krisis sosial-ekologis yang terjadi hari ini, mulai dari perubahan iklim hingga deforestasi, adalah hasil yang tak terhindarkan dari sistem yang diciptakan oleh logika dominasi ini.

Di Indonesia, relevansi ekofeminisme terlihat sangat jelas, terutama dalam konteks isu-isu agraria, bencana iklim, dan krisis pangan. Perempuan, khususnya di pedesaan dan komunitas adat, sering kali berada di garis depan krisis ini, bukan hanya sebagai korban, tetapi juga sebagai agen perubahan yang paling gigih. Pengalaman hidup sehari-hari menempatkan mereka pada posisi unik: merekalah yang paling memahami kualitas air, kesuburan tanah, dan perubahan musim karena tanggung jawab domestik dan pengelolaan sumber daya sehari-hari.

Ambil contoh isu konflik sumber daya alam dan deforestasi. Ketika hutan adat dialihfungsikan menjadi perkebunan monokultur skala besar atau area pertambangan, perempuanlah yang paling merasakan dampaknya. Di banyak komunitas, perempuan bertanggung jawab mencari air, bahan bakar (kayu), dan pangan (dari hutan). Ketika akses ke hutan dibatasi atau dirusak, beban kerja perempuan meningkat drastis. Mereka harus berjalan lebih jauh, menghabiskan waktu lebih banyak, dan menghadapi risiko kekerasan serta pelecehan dalam perjalanan mencari kebutuhan dasar keluarga. Komnas Perempuan, dalam catatannya, seringkali menerima pengaduan terkait konflik agraria yang menimpa perempuan, menunjukkan bagaimana kerusakan ekologis secara langsung diterjemahkan menjadi peningkatan kerentanan sosial dan ekonomi bagi kaum hawa. Perjuangan Mama Aleta Baun di Mollo, Nusa Tenggara Timur, yang memimpin perempuan adat melawan penambangan marmer yang merusak sumber air, adalah contoh nyata perwujudan ekofeminisme di Indonesia. Perlawanan ini muncul dari etika merawat dan mempertahankan ruang hidup yang diancam oleh kuasa ekonomi yang berpandangan ekstraktif.

Isu selanjutnya yang tak terpisahkan adalah krisis iklim dan dampaknya terhadap perempuan desa. Perubahan iklim tidak bersifat netral gender. Data menunjukkan bahwa bencana alam seperti banjir, kekeringan berkepanjangan, atau gelombang panas, secara tidak proporsional memukul perempuan. Dalam situasi bencana, perempuan memiliki mobilitas yang lebih terbatas (sering terhambat oleh tanggung jawab mengurus anak dan lansia), kesulitan mengakses layanan kesehatan reproduksi yang vital, dan menghadapi risiko kekerasan berbasis gender yang meningkat di pengungsian. Sebagai contoh yang dilaporkan dari beberapa daerah di Sulawesi dan Jawa Tengah, ketika kekeringan menghantam, perempuan petani mengalami penurunan produksi pangan yang ekstrem, yang kemudian memicu tekanan ekonomi dalam rumah tangga. Tekanan ini, dalam beberapa kasus yang tragis, dapat berujung pada peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga atau bahkan menjadi pemicu bagi orang tua untuk menikahkan anak perempuan mereka di usia dini sebagai strategi bertahan hidup, seperti yang disorot dalam studi kasus di Desa Buranga. Ini adalah bukti nyata bahwa krisis iklim memperburuk ketidakadilan gender yang sudah ada.

Ekofeminisme menawarkan solusi transformatif yang tidak hanya berfokus pada mitigasi lingkungan, tetapi juga pada restrukturisasi kekuasaan. Solusi tersebut meliputi pengakuan terhadap Pengetahuan Ekologi Tradisional Perempuan (PETP) dan peningkatan keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan lingkungan. Perempuan adat dan petani memiliki kearifan lokal yang mendalam mengenai praktik pertanian berkelanjutan, pengobatan herbal, dan pelestarian air, yang seringkali diabaikan oleh kebijakan pembangunan yang didominasi oleh pendekatan teknologi maskulin yang top-down.

Namun, tantangan terbesar terletak pada ketidakseimbangan kekuasaan dan keterwakilan. Meskipun UU Nomor 2 Tahun 2008 mengamanatkan kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen, realisasinya seringkali masih jauh dari harapan, apalagi jika dikaitkan dengan pengambilan keputusan spesifik mengenai sumber daya alam. Di level desa, tempat di mana keputusan tentang penggunaan lahan dan air dibuat, suara perempuan sering kali terpinggirkan. Sebuah studi menunjukkan bahwa di Parlemen Indonesia pasca Pemilu 2019, keterwakilan perempuan hanya mencapai sekitar 20,5%, dan sebagian besar perempuan yang terpilih masih terkonsentrasi pada urutan nomor urut strategis. Kurangnya representasi ini memastikan bahwa agenda lingkungan yang sensitif gender—seperti akses air bersih, pengelolaan sampah domestik, dan pencegahan perkawinan anak akibat krisis iklim—jarang menjadi prioritas kebijakan utama. Keputusan besar terkait pertambangan, alih fungsi hutan, dan tata ruang masih didominasi oleh perspektif yang mengutamakan keuntungan jangka pendek di atas keberlanjutan.

Maka, untuk mencapai keadilan ekologis, ekofeminisme mendesak kita untuk bergerak melampaui sekadar menanam pohon atau mendaur ulang sampah. Ia menantang kita untuk mendekonstruksi logika dominasi yang ada di dalam diri kita dan di dalam institusi kita. Ini berarti menggeser nilai-nilai dari kontrol dan ekstraksi menuju perawatan (care) dan keberlanjutan. Dalam konteks praktis, ini menuntut agar perempuan diberikan hak penuh atas tanah dan sumber daya alam, partisipasi yang setara dalam setiap forum pengambilan keputusan iklim dan lingkungan, serta pengakuan resmi terhadap pengetahuan mereka sebagai bagian integral dari solusi krisis.

Ekofeminisme, pada akhirnya, adalah seruan untuk revolusi yang lembut namun radikal. Ia mengajak kita untuk melihat bahwa pembebasan perempuan dan pemulihan bumi adalah proyek yang sama, yang saling terkait erat. Selama kita masih memandang alam sebagai objek yang dapat dikuasai dan perempuan sebagai pihak yang harus dikendalikan, kita tidak akan pernah keluar dari krisis ini. Harmoni antara manusia dan alam hanya dapat dicapai ketika kita menghancurkan hierarki patriarki yang menindas dan merangkul etika care—etika yang menghargai setiap kehidupan dan mengakui interkoneksi antara semua makhluk hidup. Indonesia, dengan kekayaan kearifan lokal yang mengagungkan alam (seperti konsep Ibu Bumi), memiliki potensi besar untuk menjadikan ekofeminisme sebagai landasan filosofis menuju keadilan ekologis yang sejati.

Komentar

Postingan Populer