Membaca Pemaknaan Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong
Novel ini mengisahkan kehidupan seorang remaja bernama Sato Reang, yang semakin merasa muak terhadap gaya hidup religius yang ketat yang diterapkan oleh figur ayahnya. Di sisi lain, meskipun ia dibentuk dalam keluarga yang disiplin dan kaku, Sato menjalani masa remajanya di tengah pergaulan yang mulai menjauh dari norma-norma tradisional. Dari lingkup pergaulan ini ia mendapatkan sudut pandang lain yang menurutnya hidup tanpa aturan ternyata lebih menyenangkan.
Konflik batin bermula saat ia berusia 7 tahun dan selesai disunat, di mana ia dituntut untuk melakukan kewajiban-kewajiban syariat seperti salat lima waktu, berpuasa, dan kewajiban lainnya. Selain itu, ucapan dari sang ayah yang menginginkan Sato Reang menjadi anak saleh turut menambah kedongkolan batinnya.
Pembangkangan-pembangkangan yang dilakukan Sato Reang mencerminkan rasa frustrasinya terhadap aturan moral yang diterapkan secara ketat baik di keluarga maupun normal sosial yang terbentuk di masyarakat sekitarnya.
Dalam prolog singkat, saya menangkap bahwa tokoh utama, Sato Reang seolah muak dan melakukan pemberontakan terhadap norma dan sistem moral yang dianggap mengikat. Ia menolak aturan-aturan yang selama ini dijunjung tinggi, lalu memutuskan untuk menjadi lebih bebas dan nakal. Hal ini menunjukkan upaya tokoh untuk menguji batas-batas moralitas dan menggali makna baru di luar kerangka agama.
Ada unsur satire terhadap praktik keagamaan yang sering kali diterapkan secara dogmatis tanpa mempertanyakan makna di baliknya. Dengan sikapnya, Sato Reang tampaknya ingin menantang pola pikir masyarakat yang terlalu fokus pada kepatuhan aturan agama, tanpa mempertimbangkan pengalaman hidup individu.
Dalam karya terbarunya ini, Eka Kurniawan mencoba menyuguhkan kisah singkat dan konflik batin seorang remaja. Membaca beberapa bab awal saya merasa bahwa ini adalah sebuah eksperimen gaya kepenulisan baru yang dicoba oleh Eka. Sebab dalam beberapa novel sebelumnya Eka biasanya menggunakan sudut pandang orang ketiga. Akan tetapi dalam novel ini memakai sudut pandang orang pertama dan ketiga secara bergantian, acak tak beraturan, dan kadang membingungkan. Ciri khas yang saya temukan dari karya Eka adalah tokoh lelaki yang mbeling, misalnya pada novel Lelaki Harimau dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Meski demikian, Eka selalu menyentil, mencoba membedah dan mengupas sisi maskulinitas dari seorang pria.
Membaca penokohan Sato Reang saya teringat tokoh rekaan J.D Salinger; Holden Caulfield dalam novel The Catcher in the Rye. Baik Sato Reang maupun Holden adalah remaja yang memiliki sisi batin bergejolak dan pemberontak. Ada banyak hal yang berkecamuk di pikiran dan perasaannya. Ada yang mengatakan juga bahwa Sato adalah versi lokal dari Holden. Saya pikir ini masuk akal juga, sebab inti dari pembangkangan yang dilakukan keduanya adalah sebuah proses pencarian jati diri seorang remaja.
Dari alur dan plotnya, Eka mencoba menghidupkan kenangan anak-anak pedesaan, bermain bola hingga sore hari. Azan magrib adalah batas, segala aktivitas setidaknya harus berhenti dan bergegas pergi ke surau untuk sembahyang dan mengaji.Jika hal itu dilanggar maka orang tua akan menghampiri anaknya dengan membahwa rotan, beluntas, atau yang lainnya untuk menggertak anak-anak agar bergegas pulang. Sebagai seorang yang tumbuh di pedesaan, kisah itu begitu lekat dan dekat.
Kolokasi “anjing mengeong dan kucing menggonggong” yang muncul pada judul memberikan gambaran singkat bahwa Eka mencoba mendobrak sesuatu yang lain dari nilai dan norma. Mengungkap sesuatu yang tak lazim, dan ternyata ini diungkap melalui tokoh Sato Reang. Mengapa memakai leksikon ‘anjing’ dan ‘kucing’? Menurut saya kedua hewan tersebut merupakan sebuah gambaran dari relasi sosial dua orang yang tidak harmonis dan rukun, sama halnya ‘kucing dan tikus’. Dalam novel ini keduanya diwujudkan dalam tokoh Sato Reang dan Ayahnya.
Melalui tokoh Pak Umar, Ayah Sato Reang juga kita dihadapkan pada relasi kuasa, di mana ia memiliki otoritas untuk mengatur, menghukum, dan melakukan pengendalian terhadap orang yang lebih kecil (Sato Reang). Sehingga secara tidak langsung ini adalah bentuk representasi dari realitas masyarakat kita saat ini.
Membahas antiklimaks dari novel ini, saya menyayangkan jika novel ini akan berakhir seperti itu, sebuah kesialan dari tokoh Jamal, anak saleh dan cucu ulama besar. Namun di bagian inilah muncul perenungan singkat namun mendalam. Bagaimana hakikat hidup saleh, pendirian, dan akhir dari kehidupan seseorang. Juga memperkuat peran Sato yang menjadi tokoh sentral di novel ini.
Membaca Anjing Mengeong Kucing Menggonggong membawa pada pemaknaan lain bahwa setiap orang tidak peduli besar, kecil, tua, muda, selalu menginginkan untuk dilihat keberadaannya. Tidak hanya eksistensi fisik, melainkan juga pikiran, prinsip, dan nilai yang mungkin dilahirkan oleh diri mereka sendiri. Eksistensi dari sebuah realisme yang absurd, mungkin mewakili novel pendek dari Eka Kurniawan ini.
Komentar
Posting Komentar