Perempuan Pekerja Migran Indonesia


Setiap kali mendengar istilah "pahlawan devisa", bayangan saya seringkali tertuju pada sosok perempuan dengan koper sederhana, berangkat ke negeri orang dengan senyum penuh harap dan hati yang pilu meninggalkan anak-anaknya. Mereka adalah Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), tulang punggung ekonomi bagi banyak keluarga di desa, sekaligus cermin dari kompleksitas perlindungan hak-hak perempuan di ranah dunia.

Lantas mengapa banyak perempuan memilih menjadi pekerja migran? Di banyak daerah, lapangan pekerjaan terbatas, pilihan karir di kampung masih sangat sempit. Data menunjukkan bahwa mayoritas pekerja migran Indonesia adalah perempuan, dan banyak dari mereka bekerja di sektor informal seperti pekerja rumah tangga. 

Bagi mereka, kerja migran adalah jalan untuk membantu keluarga: mengirim remitansi sebagai sumbangan hidup, memperbaiki kondisi ekonomi, mungkin juga memberi kesempatan bagi anak-anak mereka untuk sekolah lebih lanjut dan menjalani hidup yang leboh baik. Sehingga dalam benaknya mereka berpikir, “saya pergi agar keluarga bisa hidup lebih baik.” Namun,  sering kali yang luput diperhatikan adalah, kecemasan yang dipendam untuk dirinya sendiri, Apakah akan ada jaminan mereka akan aman? Apakah hak mereka akan terpenuhi?

Dari data Bank Dunia dan laporan organisasi seperti Migrant Care, kita tahu bahwa kontribusi mereka sangat nyata. Remitansi atau kiriman uang mereka menjadi nadi bagi perekonomian daerah asal, membiayai pendidikan anak-anak, memperbaiki rumah, dan menggerakkan roda ekonomi lokal. Namun, di balik angka-angka statistik yang mengesankan itu, tersimpan cerita-cerita getir yang seringkali terabaikan.

Banyak dari perempuan ini berangkat dengan beban ganda. Mereka bukan hanya mencari nafkah, tetapi juga harus berhadapan dengan kerentanan yang khas karena gender. Mulai dari praktik perekrutan yang tidak adil, potensi kekerasan fisik dan psinis, hingga pembatasan akses komunikasi dengan keluarga. Sehingga hak dan kedaulatan mereka sebagai perempuan dan manusia seringkali terenggut. Istilah "pahlawan" seolah menjadi pembenaran untuk pengorbanan tanpa jaminan perlindungan yang memadai.

Kerentanan yang Menyertai Perempuan Pekerja Migran

Sayangnya, harapan dan kenyataan kadangkala berjalan berbeda jalan. Dihimpun dari beberapa sumber, beberapa aspek kerentanan yang dialami perempuan pekerja migran antara lain:

Risiko eksploitasi dan kekerasan

Beberapa penelitian menunjukkan pekerja rumah tangga migran perempuan menjadi korban gaji tidak dibayar, jam kerja berlebih, bahkan kekerasan fisik atau seksual serta pembatasan kebebasan bergerak. (Jurnal Perempuan)

Pengabaian struktur perlindungan

 Meskipun Indonesia memiliki Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) sebagai landasan hukum. Namun dalam praktiknya, banyak pekerja migran perempuan belum benar-benar merasakan perlindungan substantif—masih ada kesenjangan implementasi, akses keadilan, informasi yang terbatas. Misalnya, fenomena “penahanan dokumen”, atau pemberangkatan melalui jalur tidak resmi yang meningkatkan kerentanan.

Pengabaian terhadap suara perempuan migran

Ada kritik bahwa kebijakan migrasi sering menempatkan pekerja migran perempuan sebagai “sumber devisa” atau “tenaga kerja murah”, tanpa cukup memperhitungkan peran, pilihan, dan hak mereka sebagai perempuan pekerja.

Kita patut bertanya: seberapa kuat sebenarnya kebijakan yang melindungi mereka? Pusat Studi HAM, Multikulturalisme, dan Migrasi Universitas Jember serta analisis dari Bappenas menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya telah memiliki seperangkat regulasi, seperti UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Regulasi ini dirancang untuk memperkuat posisi tawar PPMI, mulai dari pra-penempatan, selama bekerja, hingga purna-penempatan.

Namun, jurang antara kebijakan di atas kertas dan realita di lapangan masih lebar. Tantangan terbesarnya seringkali terletak pada implementasi. Bagaimana memastikan setiap calon PPMI benar-benar memahami kontrak kerjanya? Bagaimana mekanisme pengaduan yang cepat dan responsif ketika mereka menghadapi masalah di negara tujuan? Dan yang tak kalah penting, bagaimana memastikan reintegrasi yang mulus ketika mereka pulang kembali ke tanah air, tidak hanya secara ekonomi tetapi juga secara sosial dan psikologis?

Refleksi kita harus mengarah pada sebuah pertanyaan mendasar: Sudahkah kita memandang PPMI bukan sekadar komoditas tenaga kerja, tetapi sebagai subjek yang berdaulat atas hidup dan tubuhnya? Perlindungan yang kuat harus dimulai dari hulu: pendidikan dan pemberdayaan calon PPMI, pengawasan ketat terhadap perusahaan pengerah tenaga kerja (PPTKIS), hingga diplomasi yang gigih dengan negara-negara penempatan untuk memastikan standar kerja yang layak dan manusiawi.

Ruang Pemberdayaan & Harapan Perubahan

Meski tantangan yang dihadapi perempuan pekerja migran begitu besar, bukan berarti jalan menuju perubahan tertutup. Masih ada ruang untuk pemberdayaan, reformasi kebijakan, dan kesempatan bagi suara perempuan migran untuk semakin terdengar. Salah satu kunci penting terletak pada pendidikan, informasi, dan kesadaran. Akses terhadap pengetahuan mengenai hak-hak pekerja, prosedur migrasi yang aman, serta literasi keuangan dan persiapan kerja dapat memperkuat posisi perempuan sebelum berangkat ke luar negeri. Program desa seperti Desbumi (Desa yang Peduli Buruh Migran) menjadi contoh nyata bagaimana komunitas lokal dapat berperan aktif dalam memberikan perlindungan dan dukungan bagi warganya yang hendak bekerja di luar negeri.

Selain itu, reformasi kebijakan yang lebih responsif gender juga menjadi kebutuhan mendesak. Perlindungan bagi pekerja migran tidak boleh berhenti pada aspek administratif atau prosedural semata, tetapi juga harus menyentuh sisi-sisi kemanusiaan yang sering diabaikan—seperti kesehatan, kekerasan berbasis gender, hingga beban ganda yang kerap ditanggung oleh perempuan. Kebijakan yang dirancang dengan memperhatikan pengalaman nyata perempuan akan menciptakan sistem perlindungan yang lebih adil dan menyeluruh.

Ruang partisipasi bagi perempuan migran juga penting untuk terus diperluas. Mereka perlu diposisikan sebagai agen aktif, bukan sekadar objek kebijakan. Suara mereka tentang pengalaman, kebutuhan, dan aspirasi harus didengar dan menjadi dasar dalam perumusan kebijakan migrasi yang lebih manusiawi. Ketika perempuan migran dilibatkan secara langsung, kebijakan yang lahir pun akan lebih sesuai dengan realitas yang mereka hadapi.

Tidak kalah penting, perhatian juga perlu diberikan pada fase setelah kepulangan (reintegration). Banyak pekerja migran perempuan yang, setelah kembali ke tanah air, menghadapi tantangan baru: keluarga yang sudah berubah, stigma sosial karena dianggap “gagal”, atau kesulitan memperoleh penghasilan yang stabil. Program pemberdayaan ekonomi bagi eks-migran menjadi langkah penting agar perjalanan migrasi mereka tidak berakhir pada kesulitan baru, tetapi justru menjadi titik awal untuk membangun kehidupan yang lebih mandiri dan bermartabat di kampung halaman.

Dengan demikian, pemberdayaan perempuan pekerja migran tidak hanya berbicara tentang perlindungan selama mereka bekerja di luar negeri, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap langkah, dari sebelum berangkat hingga setelah pulang, diiringi oleh dukungan, kebijakan, dan pengakuan atas martabat mereka sebagai manusia yang utuh.

Pada akhirnya, setiap perempuan yang memutuskan untuk pergi bekerja ke luar negeri adalah pahlawan bagi keluarganya. Namun, kewajiban negara adalah memastikan bahwa mahkota "pahlawan devisa" yang disematkan pada mereka tidak menjadi beban yang menyakitkan, melainkan penghargaan yang tulus atas setiap tetes keringat, air mata, dan ketangguhan mereka. Mereka mengulurkan tangan untuk membangun negeri; sudah sepatutnya negeri menjamin bahwa tangan mereka tidak terenggut haknya, melainkan digenggam dengan erat oleh sistem perlindungan yang berdaulat dan berperasaan.


Komentar

Postingan Populer