Pernikahan Anak Perempuan Usia Dini


Di sebuah desa terpencil di Jawa Timur, seorang gadis berusia 15 tahun bersiap untuk akad nikah. Tentu saja seragam putih abu-abunya digantikan gaun pengantin, buku pelajaran berganti dengan seserahan, dan impian menjadi dokter berubah menjadi kewajiban sebagai istri. Tidak hanya di Jawa Timur, wajah dari ribuan anak perempuan Indonesia yang setiap tahunnya kehilangan masa kecil akibat pernikahan dini. Meski Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah menaikkan batas usia perkawinan perempuan dari 16 menjadi 19 tahun, akar masalahnya masih menggurita dalam-dalam di lapangan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Mahkamah Agung menunjukkan bahwa angka pernikahan anak, meskipun cenderung menurun lambat, masih berada di tingkat yang mengkhawatirkan. Bahkan, pada masa pandemi COVID-19, angkanya sempat melonjak drastis, terbukti dari lonjakan permohonan dispensasi kawin yang masuk ke Pengadilan Agama. Misalnya, di beberapa daerah, permohonan dispensasi nikah meningkat hingga tiga kali lipat dari tahun sebelumnya, sebuah indikasi nyata bagaimana tekanan ekonomi dan pembatasan mobilitas selama pandemi telah mendorong orang tua untuk menikahkan anak-anak mereka sebagai solusi atas kesulitan hidup atau ketakutan akan pergaulan bebas. Fenomena ini semakin memperjelas bahwa pernikahan anak adalah masalah yang sangat rentan terhadap guncangan ekonomi dan sosial.


Pernikahan anak bukanlah sekadar peristiwa satu hari yang dirayakan dengan sirih dan pakaian tradisional. Ia adalah pintu gerbang menuju siklus kemiskinan, putus pendidikan, dan kerentanan yang akan membayangi hidup perempuan sepanjang hayat. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Data Statistik Indonesia 2023 mencatat angka perkawinan anak Indonesia masih berada di sekitar 10,82%. Angka ini seperti puncak gunung es, karena banyak pernikahan di bawah umur yang tidak tercatat secara resmi, diselesaikan secara adat atau melalui dispensasi nikah.

Menyelami lebih dalam, penyebab pernikahan anak perempuan usia dini bagai jalinan benang kusut yang sulit diurai. Faktor kemiskinan menjadi pemicu utama. Dalam banyak keluarga miskin, anak perempuan dianggap sebagai "beban" ekonomi yang harus segera "diatasi" dengan menikahkannya. Ada pula alasan "kehormatan keluarga" ketika anak perempuan dianggap membawa aib karena berpacaran atau bahkan menjadi korban kekerasan seksual. Ironisnya, korban justru dipaksa menikah dengan pelaku sebagai bentuk penyelesaian yang dianggap paling mudah, seperti yang terjadi dalam beberapa kasus yang diungkap Komnas Perempuan.

Faktor lain yang tak kalah kuat adalah tradisi dan interpretasi agama yang sempit. Di banyak daerah, pernikahan dini dianggap sebagai warisan leluhur yang tidak boleh diubah. Sementara itu, pemahaman keagamaan yang literal tentang kesiapan menikah seringkali hanya dilihat dari segi biologis, mengabaikan kematangan psikologis, ekonomi, dan pendidikan. Tekanan sosial ini diperparah oleh ketidaksetaraan gender yang mengakar, dimana perempuan ditempatkan pada peran domestik sehingga pendidikan dianggap tidak terlalu penting.

Dampak pernikahan dini pada anak perempuan ibarat rantai yang mengikat. Dari segi kesehatan, tubuh yang belum siap untuk hamil dan melahirkan menghadapi risiko besar. Menurut laporan UNICEF, komplikasi kehamilan dan persalinan merupakan penyebab kematian utama pada remaja perempuan usia 15-19 tahun di seluruh dunia. Bayi yang dilahirkan oleh ibu remaja juga berisiko lebih tinggi mengalami berat badan lahir rendah dan gangguan pertumbuhan. Tidak hanya fisik, kesehatan mental mereka juga terancam. Tanggung jawab sebagai istri dan ibu di usia yang seharusnya masih bermain menyebabkan stres, depresi, dan rasa terisolasi.

Secara psikologis, anak perempuan yang dipaksa memasuki pernikahan kehilangan masa kanak-kanak dan remaja mereka. Mereka belum memiliki kematangan emosional dan psikologis untuk mengarungi bahtera rumah tangga dan mengurus anak. Akibatnya, mereka sering mengalami stres, depresi, dan rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena ketidakmampuan mengelola konflik. Secara pendidikan dan ekonomi, pernikahan dini adalah jurang pemutus kesempatan. Anak perempuan terpaksa putus sekolah, mengubur peluang mereka untuk mengembangkan potensi sosial dan meningkatkan modal ekonomi. Mereka akhirnya terperangkap dalam lingkaran kemiskinan: menikah muda, memiliki pendidikan rendah, rentan secara ekonomi, dan kesulitan memberikan kehidupan yang layak bagi anak-anaknya, mengulang kembali siklus yang dialami orang tua mereka.

Dunia pendidikan adalah korban berikutnya. Sebagian besar anak perempuan yang menikah dini terpaksa putus sekolah, mengubur impian dan potensi mereka. Mereka yang berusaha melanjutkan pendidikan setelah menikah menghadapi tantangan ganda, mulai dari mengasuh anak hingga stigma masyarakat. Padahal, pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk memutus siklus kemiskinan dan pernikahan dini antargenerasi. Seorang ibu yang berpendidikan cenderung akan menyekolahkan anaknya lebih lama, termasuk anak perempuannya.

Menyadari kompleksitas masalah ini, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya. Perubahan Undang-Undang Perkawinan pada 2019 yang menyamakan batas usia perkawinan laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun adalah terobosan hukum yang patut diacungi jempol. Kebijakan ini diperkuat dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pencegahan Perkawinan Anak yang menekankan pendekatan multisektor. Program Generasi Berencana (GenRe) dari BKKBN berusaha menjangkau remaja dengan penyuluhan tentang perencanaan kehidupan berkeluarga. Sementara itu, di tingkat daerah, upaya seperti "Sekolah Perempuan" yang diinisiasi berbagai NGO berusaha memberdayakan anak perempuan dengan keterampilan hidup dan pengetahuan tentang hak-hak mereka.

Namun pertanyaannya, seberapa efektif upaya-upaya ini? Realita di lapangan menunjukkan bahwa jalan masih terjal. Dispensasi nikah menjadi celah hukum yang banyak dimanfaatkan. Data Mahkamah Agung tahun 2023 menunjukkan puluhan ribu permohonan dispensasi nikah diajukan, dengan persetujuan mencapai angka yang mengkhawatirkan. Alasan "hamil di luar nikah" masih sering dijadikan pertimbangan utama oleh hakim, yang justru mengabadikan praktik perkawinan anak. Selain itu, koordinasi antar kementerian dan lembaga masih lemah, sementara anggaran untuk pencegahan perkawinan anak seringkali tidak memadai dibandingkan dengan skala masalahnya.

Tapi yang paling memprihatinkan, upaya pencegahan seringkali tidak menyentuh akar masalah. Program bantuan sosial memang meringankan beban ekonomi keluarga, tetapi tidak serta merta mengubah pola pikir orang tua yang menganggap pernikahan dini sebagai solusi. Pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif masih menghadapi tentangan dari berbagai pihak, sementara anak perempuan di daerah terpencil memiliki akses terbatas pada informasi dan layanan yang mereka butuhkan.

Lantas, apa yang bisa dilakukan? Pertama, penegakan hukum harus konsisten. Pengadilan perlu memiliki pemahaman yang sama tentang pentingnya mencegah dispensasi nikah, kecuali dalam kondisi yang sangat luar biasa. Kedua, pendidikan inklusif tentang kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi harus diintegrasikan dalam kurikulum sekolah, dengan melibatkan orang tua dan masyarakat. Ketiga, pemberdayaan ekonomi keluarga harus disertai dengan perubahan mindset, menunjukkan bahwa investasi pada pendidikan anak perempuan justru akan mengangkat derajat keluarga di masa depan.

Pada akhirnya, pernikahan anak perempuan usia dini adalah kekerasan terselubung yang merampas masa kini dan masa depan. Setiap anak perempuan yang dipaksa menikah bukan hanya kehilangan haknya untuk bermimpi, tetapi juga potensinya untuk berkontribusi pada pembangunan bangsa. Mereka adalah aset negara yang tidak ternilai, yang seharusnya diberi kesempatan untuk tumbuh, belajar, dan memilih jalan hidup mereka sendiri. Mencegah pernikahan anak bukan sekadar mematuhi hukum, melainkan ben



tuk pengakuan akan kemanusiaan dan martabat setiap anak perempuan Indonesia. Selama masih ada gadis kecil yang dipaksa mengganti seragam dengan gaun pengantin, selama itu pula kita sebagai bangsa belum sepenuhnya beradab.

Komentar

Postingan Populer