Diskriminasi terhadap Perempuan Tidak Pernah Mati
Judul ini mungkin terasa pahit, tetapi itulah realita yang masih membayangi kehidupan perempuan Indonesia. Secara normatif, kita patut bersyukur karena negara telah menegakkan pilar-pilar pelindung. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender hadir sebagai kompas kebijakan yang responsif, sementara Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menjadi jaring pengaman bagi banyak korban. Namun, ironi terbesar justru muncul di tengah kemajuan hukum progresif ini, diskriminasi masih bercokol, hidup dalam dimensi yang paralel. Kita masih memiliki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang pasal-pasalnya (meski telah ada revisi batas usia) secara implisit melanggengkan stereotip kepala keluarga laki-laki, menciptakan ketimpangan mendasar dalam ruang paling privat. Lebih parah lagi, di tingkat daerah, ratusan Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif terus berlaku, membelenggu hak dasar perempuan atas nama moralitas, membatasi cara berpakaian, mobilitas, hingga mempersulit akses mereka terhadap keadilan.
Lalu, bagaimana wajah diskriminasi ini menyelinap dalam kehidupan nyata, di luar lembaran undang-undang? Ia tidak selalu muncul sebagai teriakan keras; seringkali ia berbisik melalui kebijakan yang terlihat baik, namun esensinya membatasi, atau melalui budaya korporat yang memarjinalkan. Ambil contoh kasus di beberapa daerah yang mewajibkan jilbab di sekolah negeri atau tempat kerja. Seperti yang pernah diberitakan Kompas.com (2023), kebijakan yang dianggap sebagai "perlindungan moral" ini justru berubah menjadi alat pemaksaan, bahkan menghilangkan hak atas kebebasan beragama bagi guru non-Muslim, sekaligus merampas otonomi perempuan atas tubuhnya sendiri. Diskriminasi serupa juga merajalela di dunia profesional. Seringkali, seperti diulas Tempo.co (2024), perempuan yang sudah menikah menghadapi interogasi tidak adil saat rekrutmen: pertanyaan seperti "Kapan rencana punya anak?" atau "Bagaimana membagi waktu antara keluarga dan karier?" hampir tidak pernah ditujukan kepada kandidat laki-laki. Praktik ini adalah diskriminasi struktural yang halus, membatasi kemajuan karier perempuan dengan dalih "kodrat" dan peran domestik yang secara sosial dibebankan secara sepihak.
Namun, diskriminasi yang paling kejam adalah ketika korban justru dihakimi. Dalam kasus kekerasan seksual, korban yang mayoritas perempuan seringkali menghadapi diskriminasi berlapis, bukan dari pelaku, melainkan dari masyarakat. BBC News Indonesia (2023) menyoroti betapa pertanyaan-pertanyaan seperti, "Apa pakaiannya saat kejadian?" atau "Kenapa korban keluar malam?" seolah membenarkan kekerasan sebagai konsekuensi dari perilaku korban. Stigma kultural yang kejam ini secara efektif membungkam banyak korban, menghambat mereka mengakses keadilan yang telah dijamin melalui UU PKDRT dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Ini memperlihatkan bahwa perjuangan melawan diskriminasi bukan hanya pertarungan hukum, tetapi juga peperangan melawan mentalitas kolektif.
Mengapa diskriminasi ini begitu sulit diberantas? Ia bertahan karena tiga alasan utama: normalisasi budaya, di mana ketidakadilan gender sudah dianggap "biasa" atau "takdir"; inkonsistensi hukum, di mana payung hukum progresif dan hukum diskriminatif hidup berdampingan, saling melemahkan; dan ketakutan akan perubahan, di mana pemberdayaan perempuan dianggap sebagai ancaman terhadap tatanan patriarki yang mapan. Oleh karena itu, tantangan kita melampaui perubahan pasal-pasal. Kita membutuhkan pergeseran paradigma yang mendalam: mendidik tentang kesetaraan sejak dini, menuntut akuntabilitas institusi yang bias, dan terus-menerus menyuarakan ketidakadilan yang terselubung. Diskriminasi memang tidak mati; ia hanya beradaptasi dan menyamar. Tugas kita adalah terus mengasah kepekaan, membongkar setiap bias yang tersembunyi, dan memastikan bahwa komitmen hukum negara benar-benar menjadi napas keadilan dalam setiap sendi kehidupan. Sebab, selama satu perempuan masih didiskriminasi, selama itu pula janji kita akan kemanusiaan yang utuh belum terpenuhi.
Semoga di peringatan Hari Perempuan Internasional, hak-hak perempuan semakin dihargai, dan kita; para perempuan mendapatkan ruang aman di manapun kita berada.

Komentar
Posting Komentar