Ekolinguistik, Sebuah Harmoni Perempuan dan Lingkungan



Ketika kita berbicara tentang “bahasa”, sering kali yang muncul pertama di benak kita adalah susunan kata, ungkapan, wacana sosial, atau perubahan fonetik/semantik. Namun bayangkan jika kita mulai melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dan lingkungan  bukan hanya antar manusia. Di sinilah muncul bidang yang disebut Ecolinguistics (ekolinguistik) yakni kajian yang memeriksa bagaimana bahasa, wacana dan praktik komunikasi berinteraksi dengan alam, lingkungan dan ekosistem. Dalam versi paling ringkas, ekolinguistik menanyakan: Bagaimana cara kita berbicara tentang alam, bagaimana wacana kita membentuk hubungan kita dengan lingkungan, dan bagaimana bahasa bisa menjadi alat bagi kelestarian atau justru kerusakan? 

Memasuki konteks Indonesia, negeri yang kaya akan keanekaragaman hayati dan linguistik  lebih dari 700 bahasa daerah maka ekolinguistik menawarkan sudut pandang yang kaya dan relevan. Sebuah kajian sistematis terhadap penelitian ekolinguistik di Indonesia menemukan bahwa hanya sedikit artikel yang terindeks secara luas, namun analisis mereka menunjukkan bahwa definisi ekolinguistik di tanah air melibatkan tiga aspek: keragaman bahasa/linguistik, kearifan lokal yang berhubungan dengan lingkungan, dan kesadaran ekologi bahasa. Misalnya, penelitian di Kalimantan maupun Sulawesi menunjukkan bahwa teks-lisan, ungkapan tradisional, dan kosakata lokal memuat makna ekologis sebagai bagian dari hubungan manusia-alam dan identitas budaya. 

Mari kita selami kisah dan isu yang konkret. Bayangkan sebuah berita di media yang menyebut “penebangan hutan”, “kapasitas lahan menurun”, atau “arus balik pantai yang makin parah”. Bahasa yang dipakai bukan netral: frasa seperti “eksploitasi”, “tak terkendali”, “kerusakan lingkungan” sudah membawa muatan nilai dan ideologi. Dalam kajian milik Yuniawan di Indonesia terhadap teks berita konservasi ditemukan bahwa eco-lexicon (kata-kunci yang berhubungan dengan lingkungan) muncul dalam bentuk kata dasar, turunan, frasa nomina, verba, adjektiva dalam berita, dan fungsi-nya bukan hanya melaporkan tetapi juga membentuk pemahaman publik terhadap lingkungan.  Sebuah studi korpus terbaru yang menggunakan 224 artikel dari situs resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK) mengungkap bahwa terdapat mekanisme linguistik seperti nominalisasi abstrak dan hilangnya non-manusia sebagai aktor dalam wacana iklim — yang artinya bahasa “menghapus” atau mengaburkan keterlibatan alam atau spesies non-manusia dalam narasi perubahan iklim.  Ini menarik karena sekaligus menunjukkan bahwa ekolinguistik bukan hanya soal “apa yang dikatakan” tetapi “siapa atau apa yang disingkirkan dari wacana”.

Dalam pandangan reflektif saya, hal ini membawa kita ke dua hal penting: pertama, bahasa membentuk sikap kita terhadap alam; kedua, sebagai peneliti membaca wacana, termasuk Anda yang fokus pada literasi dan bahasa, kita memiliki tanggung jawab untuk menyinari bagaimana bahasa tersebut merapatkan atau merenggangkan hubungan antarmanusia-alam. Misalnya, narasi pembangunan yang sering memakai metafora “membuka”, “menguasai”, “memanfaatkan” untuk alam menunjukkan kerangka antropocentrik yang menganggap alam sebagai objek untuk dikendalikan. Sedangkan narasi alternatif yang muncul dari kearifan lokal bisa memakai bahasa yang memosisikan manusia sebagai bagian dari alam, bukan di atasnya.

Salah satu isu relevan sekarang adalah perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. isu yang akar permasalahannya kebanyakan bersifat ekologis tapi solusinya sangat bergantung pada wacana, kebijakan, dan mobilisasi sosial. Ketika wacana dominan menekankan pembangunan ekonomi saja, frase seperti “pertumbuhan”, “pembangunan tanpa hambatan”, “sumber daya alam tak terbatas” menjadi bagian dari bahasa keseharian pembangunan. Padahal ekolinguistik menunjukkan bahwa bahasa seperti itu memuat potensi destruktif—mendorong eksploitasi dan mengabaikan batas-ekologi.  Di Indonesia, misalnya, penggunaan bahasa dalam kebijakan lingkungan sering abstrak dan teknokratis sehingga masyarakat lokal dan spesies non-manusia kurang terdengar. Kajian korpus di atas memperlihatkan bahwa wacana KLHK cenderung memunculkan agen manusia sebagai subjek utama, sementara aktor lingkungan (alam, spesies) “terhapus” atau tidak mendapat perhatian linguistik yang setara. 

Sebagai contoh spesifik, dalam wacana media dan kebijakan tentang deforestasi dan tambang di Indonesia, kata-kata seperti “pemanfaatan lahan”, “pengusahaan hutan”, “kapasitas produksi” dominan, sedangkan frasa seperti “alam kita”, “keberlanjutan komunitas lokal”, atau “isklusi spesies” sangat jarang. Pendekatan ekolinguistik akan menelaah bagaimana pilihan kata-kata ini membentuk persepsi publik: apakah kita melihat hutan sebagai “komoditas” atau sebagai “ekosistem bersama”? Dengan demikian, penelitian seperti yang dilakukan di universitas menunjukkan bahwa wacana itu bukan kebetulan, melainkan bagian dari kerangka ideologi yang harus dikritik. 

Lebih jauh, mari kita refleksikan tentang makna lebih luas. Kita hidup dalam era Anthropocene, era yang menandai bahwa manusia telah menjadi kekuatan geologis yang mengubah sistem bumi. Dalam kondisi ini, wacana dan bahasa menjadi salah satu medan tempur. Bukan hanya pertarungan fisik terhadap polusi atau perusakan habitat, tetapi juga pertarungan konsep: apakah kita akan terus memakai bahasa yang memperkuat kerusakan (misalnya “tak terbatas”, “eksplorasi tanpa batas”), atau mengganti narasi dengan bahasa yang menumbuhkan rasa saling terikat antara manusia, alam dan spesies lainnya? Dalam kerangka ekolinguistik, ini disebut sebagai mencari stories we live by (cerita yang kita jalani) yang bisa menciptakan ekologi kehidupan yang berkelanjutan.  Di suatu kampung di Kalimantan, misalnya, kosakata lokal yang mengacu pada sungai, hutan dan kegiatan tradisional membentuk cara komunitas memandang lingkungan: bukan sebagai objek tetapi sebagai “saudara” yang harus dijaga. Namun ketika pendatang atau kebijakan luar datang dan memakai bahasa “sumber daya”, “ekspansi”, “kapital”, maka cara pandang itu bisa tertukar dan hubungan menjadi rusak.

Dalam praktik penelitian, tantangan dan peluang muncul. Tantangannya: data ekolinguistik masih terbatas, terutama dalam konteks Global South. Kajian di Indonesia menunjukkan masih sedikit artikel yang terindeks secara internasional dan masih banyak kesenjangan metodologis. Namun, hal ini justru membuka peluang besar: sebagai peneliti Anda dapat melakukan kajian lapangan, mengumpulkan kosakata lokal, menganalisis wacana media, merekam bagaimana bahasa-lingkungan berubah di tengah tekanan pembangunan dan modernisasi. Anda bisa mengaitkan dengan isu literasi—misalnya, bagaimana kampanye lingkungan diterjemahkan atau tidak ke dalam bahasa lokal, apakah masyarakat memahami narasi lingkungan yang disampaikan melalui bahasa negara atau bahasa internasional, dan bagaimana hal ini memengaruhi tindakan.

Isu relevan lain yang bisa dihubungkan adalah keadilan lingkungan (environmental justice) dan hak bahasa (language rights). Karena jika bahasa lokal pun terpinggirkan, maka suara komunitas adat yang punya pengetahuan ekologis sering tersisih. Dengan menggunakan kerangka ekolinguistik, kita bisa menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan sering disertai dengan “erasure” linguistik, hilangnya istilah-istilah tradisional yang menyatakan keseimbangan manusia-alam, serta digantikan istilah teknokratis yang memisahkan manusia dari alam. Sebagai contoh, studi korpus di KLHK menunjukkan hilangnya spesies non-manusia sebagai aktor dalam wacana iklim. 

Mari kita menutup refleksi ini dengan ajakan berpikir: Bagaimana jika kita mulai melihat bahasa kita sehari-hari iklan, berita, kebijakan, bahkan percakapan kampung sebagai bagian dari “ekologi” yang lebih luas? Bahasa bukan hanya alat komunikasi antar manusia, tetapi alat membentuk hubungan kita dengan dunia alami. Jika kita memilih kata-kata seperti “pemberdayaan”, “kemitraan dengan alam”, “kesetaraan spesies”, maka kita sedang merangkai narasi baru yang berpotensi mengubah sikap dan tindakan. Sebaliknya, jika kita terus menyebut alam sebagai “sumber”, “milik kita”, “untuk kita eksploitasi”, maka kerusakan akan berlanjut. Ekolinguistik mengajak kita untuk menyadari bahwa cara kita berbicara adalah cara kita hidup  dan bahwa membangun narasi baru melalui bahasa dan literasi bisa menjadi langkah kecil namun penting menuju ekologi kehidupan yang lebih adil dan lestari.


Komentar

Postingan Populer