Anak-Anak dan Perempuan, Korban Abadi di Palestina
Dalam setiap lembar sejarah konflik bersenjata, terukir sebuah kebenaran yang kejam dan tak terbantahkan bahwa mereka yang paling menderita, yang menanggung beban paling berat dari kehancuran dan kebrutalan, adalah kelompok yang paling rentan anak-anak dan perempuan. Perang bukanlah sekadar statistik korban militer atau pergeseran batas wilayah melainkan adalah bencana kemanusiaan yang mendisrupsi tatanan kehidupan, dan di dalamnya, perempuan dan anak-anak selalu diposisikan pada titik nol trauma, kelaparan, dan kekerasan. Kisah ini menemukan resonansinya yang paling pilu dan mendesak di Jalur Gaza, tempat konflik berkepanjangan telah mengubah kehidupan jutaan jiwa menjadi labirin penderitaan tanpa akhir.
Gaza hari ini adalah cermin yang memantulkan kegagalan moral dan hukum dunia. Sejak eskalasi konflik pada Oktober 2023, data-data yang dirilis oleh badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Kementerian Kesehatan Palestina menunjukkan sebuah fakta yang mengejutkan: perempuan dan anak-anak menyumbang persentase mayoritas dari seluruh korban jiwa sipil. Menurut berbagai laporan PBB, hampir 70% dari puluhan ribu korban tewas di Gaza adalah anak-anak dan perempuan. Angka ini bukanlah sekadar statistik dingin, melainkan sebuah tragedi kolektif yang merenggut masa depan, menghancurkan rumah tangga, dan mematahkan harapan. Kita berbicara tentang lebih dari 15.000 anak yang terenggut nyawanya, dan ribuan perempuan yang kehilangan suami, anak, atau menjadi kepala keluarga sebatang kara. Tragedi ini menempatkan anak-anak Gaza sebagai kelompok yang paling rentan di dunia, kehilangan hak mendasar mereka atas kehidupan, perlindungan, dan masa depan.
Bagi anak-anak Gaza, masa kecil telah dirampas oleh dentuman bom dan rudal. Mereka hidup dalam ketakutan yang konstan, menyaksikan kehancuran rumah, sekolah, dan bahkan rumah sakit. Trauma fisik akibat serangan langsung seringkali disertai dengan luka psikologis yang tidak terlihat, yang akan mereka bawa seumur hidup. Anak-anak yang selamat dari reruntuhan kini harus menghadapi kehilangan orang tua—ribuan anak telah menjadi yatim piatu, atau terpisah dari keluarga mereka di tengah kekacauan pengungsian. Mereka bukan hanya korban collateral damage tetapi target yang menderita secara proporsional.
Sementara itu, bagi perempuan, perang menciptakan kerentanan yang berlapis. Selain menjadi korban serangan langsung, mereka harus menanggung beban ganda: melindungi anak-anak, mencari tempat berlindung, dan mengurus keluarga dalam kondisi yang mustahil. Hukum Humaniter Internasional (HHI), khususnya Konvensi Jenewa IV tahun 1949, secara tegas menyatakan bahwa perempuan harus dilindungi secara khusus dari segala serangan terhadap kehormatan mereka, namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Situasi konflik dan pengungsian masif secara sistematis meningkatkan risiko Kekerasan Berbasis Gender (KBG), termasuk kekerasan fisik, psikologis, dan eksploitasi seksual di tengah kamp-kamp yang kelebihan populasi dan minim pengawasan. Meskipun data KBG seringkali sulit dikonsolidasikan dalam situasi konflik aktif, laporan-laporan dari organisasi kemanusiaan mengindikasikan bahwa sistem perlindungan bagi perempuan telah runtuh total di Gaza.
Eskalasi konflik bersenjata telah disertai dengan blokade yang melumpuhkan akses kemanusiaan ke Gaza, menciptakan krisis kelaparan buatan manusia yang sangat parah. Ironisnya, krisis ini menargetkan kelompok yang paling membutuhkan nutrisi: ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak di bawah lima tahun.
Data Krisis Pangan: Badan-badan PBB seperti UN Women telah memperingatkan bahwa jutaan wanita dan anak-anak di Gaza menghadapi kerawanan pangan dan kekerasan yang ekstrem. Diperkirakan sekitar 15.000 ibu hamil berada di ambang kelaparan, menghadapi risiko kesehatan yang mengancam jiwa. Kekurangan gizi ekstrem pada ibu hamil tidak hanya membahayakan nyawa mereka, tetapi juga secara permanen merusak perkembangan janin, menghasilkan bayi dengan berat badan lahir rendah yang rentan terhadap penyakit dan kematian. Di Gaza, bayi-bayi kini lahir ke dunia yang penuh kekurangan, mewarisi trauma dan kelaparan dari rahim ibu mereka.
Krisis Kesehatan Reproduksi: Kondisi pengungsian yang buruk, sanitasi yang tidak memadai, dan hancurnya hampir 84% fasilitas kesehatan, telah menciptakan bencana kesehatan reproduksi yang tak terbayangkan. Perempuan menghadapi kesulitan besar dalam mengakses kebutuhan kebersihan pribadi (pembalut menstruasi), layanan kesehatan ibu hamil, dan perawatan pasca melahirkan. Ibu hamil terpaksa melahirkan di tenda pengungsian, tanpa obat bius atau perawatan medis yang layak. Seorang komisioner Komnas Perempuan menyoroti bahwa ketersediaan akses mudah pada layanan kesehatan, termasuk kesehatan psikis dan kebutuhan maternitas, adalah bantuan yang mendesak bagi para pengungsi. Kegagalan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini adalah pelanggaran hukum kemanusiaan yang sangat serius, yang secara langsung mengancam martabat dan kehidupan perempuan.
Bagi jutaan penduduk Gaza, perang telah menghancurkan bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga struktur sosial dan harapan akan masa depan yang damai. Anak-anak kehilangan akses ke pendidikan—sekolah hancur atau digunakan sebagai tempat berlindung, mencuri tahun-tahun penting perkembangan mereka. Kehilangan ini menciptakan generasi yang tumbuh dengan trauma mendalam, yang disebut sebagai trauma akut.
Perempuan, yang seringkali menjadi tulang punggung pemulihan komunitas pasca-konflik, kini berada dalam kondisi psikologis yang sangat rapuh. Survei menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan di Gaza melaporkan mengalami kecemasan parah dan masalah kesehatan mental yang ekstrem akibat kehilangan rumah, keluarga, dan ketidakpastian yang tiada henti. Selain itu, ribuan perempuan telah menjadi janda dan kepala rumah tangga baru yang harus memikul beban ekonomi dan psikologis yang luar biasa di tengah runtuhnya pasar kerja dan infrastruktur. Mereka harus mencari air bersih, makanan, dan keamanan bagi keluarga mereka setiap hari, dalam keadaan yang terputus dari jaringan dukungan sosial dan ekonomi.
Kisah penderitaan anak-anak dan perempuan di Gaza adalah dakwaan terhadap standar ganda dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Di satu sisi, dunia telah meratifikasi berbagai konvensi yang melindungi anak-anak (Konvensi Hak Anak) dan perempuan (Konvensi Jenewa IV); di sisi lain, efektivitas penegakan hukum ini seringkali terhambat oleh kepentingan politik dan dominasi kekuatan besar, terutama melalui penggunaan Hak Veto di Dewan Keamanan PBB.
Perang di Gaza mengingatkan kita bahwa kita tidak boleh memandang konflik hanya melalui lensa geopolitik atau pertahanan militer. Kita harus melihatnya melalui mata seorang anak yang kelaparan atau seorang ibu yang putus asa mencari pembalut di reruntuhan.
Oleh karena itu, solidaritas global tidak bisa lagi hanya terbatas pada seruan gencatan senjata; ia harus diterjemahkan menjadi tindakan konkret:
Membuka Akses Kemanusiaan Penuh: Israel harus segera membuka semua jalur untuk masuknya bantuan kemanusiaan tanpa hambatan, memprioritaskan kebutuhan khas perempuan (perlengkapan kebersihan, layanan maternitas) dan gizi anak.
Perlindungan Hukum: Komunitas internasional harus secara konsisten menuntut pertanggungjawaban atas setiap pelanggaran HHI, memastikan bahwa anak-anak dan perempuan dilindungi secara khusus dari kekerasan dan kelaparan.
Dukungan Psikososial: Bantuan harus mencakup dukungan kesehatan mental dan psikososial jangka panjang untuk menyembuhkan trauma mendalam yang dialami generasi anak-anak dan perempuan penyintas.
Dalam kegelapan Gaza, anak-anak dan perempuan menanti cahaya keadilan. Suara mereka adalah bisikan lirih yang menuntut kebenaran abadi: dalam perang apapun, dalam konflik manapun, penderitaan mereka yang tidak berdaya adalah kegagalan kita semua sebagai umat manusia. Kita harus bertindak, sekarang, sebelum air mata yang tak terhitung itu menenggelamkan setiap jejak harapan.

Komentar
Posting Komentar