Kekerasan Seksual di Pesantren


Pesantren, dengan sejarah panjangnya sebagai benteng moral, pusat peradaban Islam, dan kawah candradimuka bagi generasi penerus bangsa, seharusnya menjadi zona aman bagi para santri untuk menimba ilmu dan membentuk karakter. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, narasi ideal ini telah tercabik oleh serangkaian kasus kekerasan, terutama kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS), yang terjadi di balik dinding-dinding kokohnya. Kasus-kasus ini, mulai dari insiden memilukan di Sumenep hingga tragedi yang melibatkan pengurus dan guru, telah memaksa kita untuk melihat pesantren bukan hanya sebagai institusi keagamaan, tetapi juga sebagai sebuah ekosistem sosial yang rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Ini adalah sebuah refleksi mendalam, naratif yang harus diungkap, dan komunikasi yang mendesak bagi semua pihak untuk menjamin bahwa rumah ilmu ini tidak lagi menjadi ruang penderitaan bagi perempuan.

Akar masalah kekerasan di pesantren sangat kompleks, namun inti dari kerentanan ini terletak pada relasi kuasa yang sangat asimetris. Dalam tradisi pesantren, otoritas seorang Kyai, Ustadz, atau pengurus memiliki dimensi yang berlapis, tidak hanya sebatas otoritas pendidikan, tetapi juga otoritas spiritual. Konsep tabarruk (mencari berkah) dari Kyai seringkali diinterpretasikan secara keliru, menempatkan santri, khususnya santri perempuan, dalam posisi yang tidak berdaya untuk menolak atau mempertanyakan perintah dari figur otoritas.

Relasi kuasa ini diperparah oleh sistem kehidupan berasrama yang ketat dan tertutup. Isolasi geografis dan informasi, serta ketergantungan penuh santri pada figur pengasuh untuk kebutuhan fisik, emosional, dan spiritual, menciptakan lingkungan yang ideal bagi pelaku untuk beraksi tanpa pengawasan. Pelaku memanfaatkan status suci mereka, menjebak korban dalam kerangka victim-blaming dan ancaman spiritual—seringkali dengan narasi bahwa "membuka aib" Kyai atau pesantren akan menghilangkan berkah ilmu atau bahkan dianggap murtad. Anggapan bahwa kejahatan seksual adalah "ujian" atau "cobaan" semakin menyulitkan korban untuk bersuara dan mencari pertolongan.

Contoh kasus di beberapa daerah, di mana Kyai atau pengurus pesantren memanfaatkan jabatannya untuk melakukan kekerasan seksual terhadap belasan santri, adalah manifestasi paling mengerikan dari penyalahgunaan relasi kuasa ini. Dalam konteks ini, perempuan dan anak perempuan menjadi kelompok yang paling rentan, karena secara sosial dan kultural, posisi mereka dalam hierarki kekuasaan sudah berada di bawah figur laki-laki otoritatif. Inilah inti dari isu yang harus dibongkar: bagaimana sistem sosial yang berorientasi patriarki, diperkuat oleh interpretasi keagamaan yang kaku, dapat menjadi senjata yang menindas alih-alih melindungi.

Kasus-kasus yang mencuat ke permukaan hanyalah puncak dari gunung es. Data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa kekerasan di lembaga pendidikan, termasuk pesantren, berada dalam kondisi darurat. Kementerian Agama (Kemenag) sendiri mencatat bahwa dalam tiga tahun terakhir, setidaknya 30 kasus KBGS terjadi di lembaga pendidikan Islam. Sementara itu, riset yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) terhadap 514 pesantren menemukan bahwa 1,06% dari 43.000 pesantren di Indonesia tergolong memiliki kerentanan tinggi terhadap kekerasan seksual.

Meskipun angka 1,06% terlihat kecil, jika dikonversikan menjadi jumlah pesantren yang rentan, ini berarti ratusan institusi berpotensi menjadi tempat penderitaan bagi ribuan santriwati. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bahkan mencatat bahwa peningkatan kasus KBGS di lingkungan pesantren menempati urutan kedua setelah perguruan tinggi, sebuah indikasi serius bahwa pesantren yang seharusnya menjadi pelindung moral kini menghadapi krisis integritas.

Angka-angka ini adalah validasi bahwa isu "kekerasan perempuan di pesantren" bukanlah sekadar sensasi media, melainkan masalah struktural yang membutuhkan intervensi negara secara serius. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) telah mengecam keras kasus-kasus ini, menekankan perlunya pencegahan dan penanganan yang komprehensif.

Isu kekerasan di pesantren memiliki kaitan erat dengan beberapa isu relevan yang lebih luas, terutama terkait perlindungan korban dan reformasi institusi.

1. Implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS):

Pengesahan UU TPKS pada tahun 2022 memberikan harapan baru bagi korban. Undang-undang ini fokus pada perlindungan, pemulihan, dan restitusi bagi penyintas kekerasan seksual. Namun, implementasinya di lingkungan pesantren masih menghadapi tantangan. Budaya bungkam, tekanan sosial, dan intervensi "jalur damai" seringkali menghalangi kasus untuk diproses sesuai UU TPKS. Kasus-kasus yang berhasil diangkat ke pengadilan, seperti kasus Herry Wirawan yang menjatuhkan hukuman mati (walaupun Komnas Perempuan mendorong pidana penjara seumur hidup dan restitusi) menunjukkan bahwa negara memiliki perangkat hukum, namun efektivitasnya bergantung pada keberanian korban untuk melapor dan dukungan institusi penegak hukum yang berintegritas.

2. Regulasi dan Inisiatif Pemerintah:

Kementerian Agama telah merespons krisis ini dengan menerbitkan sejumlah regulasi, termasuk pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Pesantren, serta peta jalan pengembangan Pesantren Ramah Anak. KMA Nomor 91 Tahun 2025 menjadi panduan bagi seluruh stakeholder untuk mempercepat langkah pencegahan. Ini adalah langkah maju yang penting, menunjukkan pengakuan negara terhadap masalah ini. Namun, keberhasilan inisiatif ini sangat bergantung pada keberanian Kemenag untuk melakukan pengawasan ketat, audit mendalam, dan penindakan tegas terhadap lembaga yang terbukti melakukan pembiaran atau cover-up.

3. Bias Gender dan Tafsir Agama:

Kekerasan ini juga berakar pada bias gender dalam interpretasi teks-teks keagamaan yang cenderung menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi dan rentan. Narasi yang salah tentang "aurat," "godaan perempuan," atau "menjaga kehormatan" seringkali mengalihkan tanggung jawab dari pelaku ke korban. Reformasi pendidikan Islam harus mencakup rekontekstualisasi dan penafsiran ulang teks keagamaan yang progresif, yang menempatkan prinsip kesetaraan gender dan martabat kemanusiaan sebagai fondasi utama ajaran Islam. Pelaku kekerasan, siapa pun dia, telah melanggar ajaran dasar Islam tentang keadilan (‘adl) dan kasih sayang (rahmah).

Menciptakan pesantren yang benar-benar aman bagi perempuan adalah tugas kolektif yang menuntut keberanian reflektif. Kita harus menghancurkan tembok keheningan yang selama ini melindungi pelaku dan menindas korban.

Pertama, penguatan suara korban harus menjadi prioritas. Santriwati perlu dididik tentang hak-hak mereka, kesehatan reproduksi, dan mekanisme pelaporan yang aman dan rahasia, tanpa rasa takut akan penghakiman atau ancaman putusnya berkah.

Kedua, kiai dan pengurus harus menjadi garda terdepan dalam penegakan integritas. Pelatihan kesetaraan gender, kode etik pengasuhan yang ketat, dan transparansi dalam manajemen pesantren harus diterapkan. Pelaku, tanpa memandang gelar atau status spiritualnya, harus ditindak melalui jalur hukum pidana, bukan hanya sanksi internal.

Ketiga, pemerintah dan masyarakat sipil harus berkolaborasi. Kemenag harus memastikan Satgas Pencegahan Kekerasan Pesantren berfungsi secara efektif, menyediakan layanan konseling dan trauma healing yang komprehensif. Masyarakat sipil, seperti Komnas Perempuan, harus terus memantau dan memberikan advokasi agar kasus-kasus kekerasan tidak berakhir di meja damai yang merugikan korban.

Pesantren adalah warisan berharga bangsa. Namun, warisan ini tidak boleh berdiri di atas penderitaan perempuan dan anak-anak. Hanya dengan keberanian untuk menguak luka, menyembuhkan trauma, dan mereformasi struktur kuasa yang timpang, kita dapat mengembalikan pesantren pada hakikatnya sebagai mercusuar moral yang mencerahkan, tempat di mana setiap santri, tanpa terkecuali, dapat belajar dan tumbuh dengan aman dan bermartabat. Ini adalah panggilan nurani kita, untuk mengakhiri senyap yang menyiksa di balik dinding-dinding keagungan.

Komentar

Postingan Populer