Sunat Pada Perempuan


Saat kita mendengar istilah “sunat perempuan” atau dalam kerangka internasional kerap disebut Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C), kita dihadapkan pada beberapa problem antara budaya lokal, interpretasi agama, praktik medis, dan hak asasi manusia. Di Indonesia, praktik ini masih terjadi  walaupun bentuk, skala, dan maknanya telah berubah dan menjadi sorotan karena dampaknya terhadap kesehatan, hak perempuan, dan bagaimana negara serta masyarakat meresponsnya.

Praktik sunat perempuan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari akar budaya yang sangat lama. Dalam kajian historis disebutkan bahwa bentuk-bentuk khitan perempuan telah ada jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara, lalu kemudian diadaptasi dalam tradisi masyarakat Muslim. Dalam beberapa komunitas, sunat perempuan dianggap bagian dari pembersihan, syiar agama, atau tradisi keluarga. Misalnya dalam riset yang memeriksa sudut pandang fikih, disebut bahwa di satu penelitian 28 % praktik hanya simbolik, 49 % dalam bentuk sayatan atau tusukan, dan 22 % dalam bentuk pemotongan yang lebih nyata. Maka, sekalipun mungkin tidak selalu sejajar dengan definisi FGM/C berat seperti di beberapa negara Afrika, sunat perempuan di Indonesia memiliki kerentanan yang nyata: risiko medis, kurangnya pengetahuan, dan konteks sosial yang membuat perempuan tidak sepenuhnya menjadi peserta aktif dalam keputusan.

Kuatnya mitos di masyarakat, kebijakan lokal yang kurang seragam, serta perbedaan interpretasi agama dan medis menyebabkan kebingungan dalam kasus sunat terhadap perempuan. Dari aspek medis dan etika, penelitian menyebut bahwa prosedur yang dilakukan oleh tenaga non-profesional atau dengan alat yang tidak steril berpotensi menyebabkan infeksi, komplikasi kelahiran di masa depan, dan trauma psikologis. Ditambah, banyak perempuan bahkan tidak tahu fungsi atau alasan jelas dari prosedur tersebut  sebab hanya mengikuti tradisi keluarga tanpa informasi memadai. 

Ketika kita membahas “sunat perempuan”, kita juga harus melihat bagaimana ranah agama dan hukum ikut bermain. Di Indonesia terdapat fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa khitan perempuan boleh dilakukan selama tidak merusak fungsi atau estetika alat genital.  Namun, di sisi lain, banyak aktivis HAM dan organisasi medis menyoroti bahwa praktik tersebut sebaiknya dihentikan karena potensi bahayanya, serta soal hak perempuan atas informasi dan tubuhnya sendiri. Secara regulasi, pernah ada Peraturan Menteri Kesehatan No. 1636/Menkes/Per/XII/2010 yang mengatur prosedur khitan perempuan agar dilakukan oleh tenaga medis, kemudian pada 2014 Peraturan Menteri Kesehatan No. 6/2014 mencabut aturan itu sehingga menciptakan kekosongan regulasi yang jelas.

Meski secara hukum tenaga medis dilarang melakukannya, praktik sunat perempuan masih sangat mudah ditemui di banyak daerah, seperti di Jawa Barat, Banten, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Larangan tersebut tidak diikuti dengan penegakan hukum yang tegas. Hampir tidak ada kasus pidana yang menjerat pelaku sunat perempuan, baik itu dukun maupun tenaga kesehatan yang melakukannya secara diam-diam. Praktik ini terus hidup karena ia bukan dilihat sebagai kejahatan, melainkan sebagai kewajiban budaya dan agama.

Penting untuk melihat apa yang menjadi penyebab utama mengapa praktik ini masih berlangsung. Pertama, tradisi dan norma sosial: dalam banyak komunitas, khitan perempuan dipandang sebagai bagian dari identitas komunitas, ritual peralihan, atau “keharusan” untuk menjaga kesucian atau kehormatan. Kedua, interpretasi agama: sebagian penganut madhhab Syafi’i menganggap khitan perempuan sebagai sunnah atau makruh yang disarankan, sehingga ada tekanan komunitas untuk melakukannya.  Ketiga, rendahnya literasi kesehatan dan hak perempuan: banyak perempuan dan keluarga kurang memahami risiko medis, hak atas tubuh mereka sendiri, serta opsi lain yang ada. Keempat, regulasi dan pelaksanaan yang lemah: meskipun ada himbauan atau regulasi, implementasi dan pengawasan di lapangan sering terabaikan, dan masih ada praktik non-formal yang sulit dijangkau oleh sistem kesehatan dan hukum resmi.

Adapun komunitas aktivis bekerja melalui kampanye untuk mengakhiri FGM/C di Indonesia — seperti inisiatif United Nations Population Fund (Indonesia) (UNFPA) yang melaporkan bahwa menurut Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) sekitar 46,3 % wanita usia 15-49 tahun di Indonesia telah mengalami FGM/C. Komisi seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa kolaborasi berbagai pihak sangat penting untuk mengeliminasi FGM secara sistematik. Pemerintah pernah menerbitkan regulasi kesehatan yang mengatur khitan perempuan agar dilakukan oleh profesional medis guna mengurangi risiko. Namun, efektivitas langkah-langkah ini masih terbatas karena: regulasi yang ada belum kuat melarang, implementasi di lapangan bervariasi, dan upaya perpindahan kesadaran sosial masih berjalan.

Oleh karena itu, pendekatan hukum saja tidak akan pernah cukup. Mengubah persepsi dan keyakinan masyarakat yang telah mengakar ribuan tahun membutuhkan strategi yang lebih halus, sabar, dan multidimensi. Pendidikan adalah kunci utamanya. Sosialisasi tidak hanya perlu ditujukan kepada para ibu, tetapi juga kepada para ayah, pemimpin agama, dan tokoh adat. Mereka perlu diedukasi bahwa sunat perempuan tidak memiliki dasar dalam agama Islam yang kuat, justru banyak ulama kontemporer yang dengan tegas menolaknya. Mereka juga perlu memahami dampak kesehatan dan psikologis yang destruktif dari praktik ini.

Selain itu, pemberdayaan perempuan melalui pendidikan juga menjadi senjata ampuh. Perempuan yang berpendidikan cenderung lebih kritis terhadap tradisi dan lebih berdaya untuk menolak praktik yang merugikan dirinya dan anak-anak perempuannya. Organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat memainkan peran penting dalam mengampanyekan isu ini hingga ke tingkat akar rumput, menciptakan ruang aman bagi para korban untuk berbicara, dan mendorong terciptanya peraturan daerah yang lebih protektif.

Dengan demikian, apakah upaya yang diberikan pemerintah sudah efektif? Langkah yang dilakukan memberi kemajuan, tetapi banyak tantangan yang belum terselesaikan. Di satu sisi, semakin banyak komunitas, medis dan agama yang mempertimbangkan dampak negatif praktik ini dan mendorong perubahan narasi. Namun di sisi lain, angka praktis menunjukkan bahwa hampir setengah dari perempuan antara 15-49 tahun pernah mengalami FGM/C, yang mana ini menunjukkan bahwa perubahan belum merata dan tataran akar budaya masih kuat. Peraturan yang ada juga belum sepenuhnya mengatur larangan atau sanksi secara tegas, membuat praktik berjalan di “zona abu”. Bahkan ketika regulasi mewajibkan prosedur dilakukan oleh tenaga medis, masih sulit memastikan semua layanan dilakukan dengan standar kesehatan dan tanpa kerugian bagi perempuan.

Apa yang bisa direkomendasikan ke depan? 

Pertama, peningkatan literasi kesehatan dan hak perempuan, termasuk melalui pendidikan di komunitas dan sekolah, agar perempuan dan keluarga memahami aspek risiko, hak, dan alternatif ritual yang tidak merugikan. Kedua, regulasi yang lebih jelas dan tegas, pemerintah perlu mempertimbangkan larangan legal terhadap bentuk-bentuk yang membahayakan, sambil mengakomodasi dialog budaya dan agama agar perubahan tidak semata legislasi tapi juga kenyataan sosial. Ketiga, pemberdayaan perempuan sebagai agen utama bukan hanya penerima prosedur agar mereka memiliki suara dalam keputusan yang menyangkut tubuh mereka sendiri dan hak reproduksinya. Keempat, kerja sama lintas sektor antara lembaga medis, agama, masyarakat adat, dan aktivis hak perempuan untuk menciptakan perubahan yang berkelanjutan, bukan hanya program sesaat.

Akhirnya, praktik sunat perempuan mengajak kita untuk refleksi: bagaimana tradisi dan agama dapat berinteraksi dengan hak asasi manusia dan kesehatan publik? Bagaimana masyarakat lokal dapat mempertahankan identitasnya tanpa mengorbankan kesejahteraan perempuan? Dan bagaimana kita sebagai peneliti, pendidik atau anggota masyarakat dapat berkontribusi agar perempuan terutama anak perempuan memiliki tubuh dan hak yang aman, bermartabat, dan penuh pilihan? Jawabannya bukan hanya di dalam regulasi pemerintah, tetapi juga di dalam hati komunitas, dalam percakapan antar generasi, dan dalam literasi yang tumbuh perlahan. Dengan demikian, kita bergerak dari sekadar “tradisi” menuju tradisi yang menghormati hak dan martabat perempuan.


Komentar

Postingan Populer